Setelah PHE ONWJ, 7 blok migas lain bakal pakai sistem kontrak Bagi Hasil Gross Split

Rabu, 20 September 2017 | 16:12 WIB ET

BLORA, kabarbisnis.com: Untuk mengatasi permasalahan seputar cost recovery, pemerintah telah menerbitkan Permen ESDM No 8/2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Kebijakan ini telah berlaku aktif sejak Januari 2017 yang lalu walaupun dalam perjalanannya pemerintah terus melakukan penyempurnaan.

Sebagai pilot project, kebijakan ini telah diterapkan pada Kontraktor Kontrak KerjaSama (KKKS) Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) yang masa kontraknya kembali diperpanjang pada pertengahan Januari tahun ini. Selanjutnya hingga 2019, sedikitnya akan ada tujuh blok migas lain yang bakal diberlakukan aturan yang sama.

Ke tujuh blok migas tersebut adalah Blok Tuban yang akan diambil alih oleh Petrolium Pertamina. Saat ini Blok Tuban dikelolah oleh JOB PPEJ dan akan berakhir masa kontraknya pada Februari 2018. Selanjutnya Blok Sanga-Sanga Kalimantan Timur. Saat ini Blok Sanga-Sanga dikelolah oleh Pertamina (Persero) dan akan diperpanjang masa kontraknya pada Agustus 2018.

Selain itu juga ada Blok East Kalimantan yang dikelolah oleh Chevron Indonesia dan akan berakhir masa kontraknya pada Oktober 2018. Blok Ogan Komering yang dikelolah JOB Pertamina-Talisman, Blok Jambi Merang yang dikelolah JOB PHE Jambi Merang dan Blok Salawati di Papua.

“PHE ONWJ ini memang jadi pilot project, dari sini kami melakukan berbagai penyempurnaan dalam sistem pembagian. Dengan berjalannya waktu kok PHE ONWJ merasa  hitungannya tidak cocok, maka dilakukan pembahasan dan akhirnya ditetapkan harus ada  ada beberapa revisi dalam aturan tersebut, diantaranya penambahan split dan perubahan ketetapan besaran diskresi menteri,” ujar VP Bidang Operasi SKK Migas, Elan Bintoro saat Kuliah Umum Industri Hulu Migas yang digelar okeh STEM Akamigas Cepu, SKK Migas-KKKS Cluster Barat di Blora, Selasa (19/9/2017).

Diakui Elan, pada saat awal diberlakukannya mekanisme pembagian gross split, banyak KKKS yang enggan dan merasa tidak cocok. Tetapi setelah adanya revisi yang dilakukan, mereka mulai tertarik. Dan ini terlihat dari banyaknya formulir KKKS yang masuk saat ini. Padahal pada tahun lalu sangat sedikit atau bahkan tidak ada.

“Mereka merasa tertarik karena adanya penambahan split. Dan juga ketentuan diskresi menteri diperluas. Kalau sebelumnya diskresi menteri hanya diberikan sebesar 5 persen, maka sekarang tanpa batas, bisa sebesar 15 persen atau bahkan lebih,” tambahnya.

Lebih lanjut Elan menjelaska bahwa kebijakan bagi hasil gross split ini dikeluarkan karena dipicu oleh minimnya penerimaan negara dalam dua tahun terakhir. Bahkan sering lebih kecil dibanding cost recovery atau biaya operasi migas yang harus dibayar pemerintah. “Walaupun pemerintah telah menekan biaya operasi yang harus dibayar, tetapi penurunan pendapatan jauh lebih besa. Misalkan biaya yang harus dibayar pemerintah sebesar Rp 12 miliar, yang diterima negara hanya sebesar Rp 10 miliar.  Sebagai jalan tengah, maka kebijakan ini dikeluarka,” jelasnya.

Dalam sistem ini pembagian produksi gross (kotor) dilakukan tanpa mekanisme pengembalian biaya operasi. Dengan sistem ini, risiko produksi ditanggung sepenuhnya oleh kontraktor sehingga pemerintah tidak perlu repot-repot dan tidak perlu membayar cost recovery. Pilihan itu dianggap oleh pemerintah lebih praktis dan efisien. Keterlibatan pemerintah jauh berkurang, efisien, serta mengurangi kerumitan audit, birokrasi, dan ”lobi-lobi”.

Elan menandaskan, sistem ini juga memiliki potensi terjadinya kebocoran, mengingat besaran bagi hasil antara bagian negara dan bagian kontraktor tidak sama pada setiap wilayah kerja. Besaran bagi hasil ini bergantung pada negosiasi yang mempertimbangkan komponen variabel berupa besarnya cadangan migas, lokasi, kondisi dan kriteria, tingkat kesulitannya. Selian iu juga berdasarkan jenis lapangan migas apakah konvensional atau non-konvensional, dan komponen progresif yang terdiri dari produksi dan harga minyak bumi.

Besaran bagi hasil yang tertulis dalam Permen No 8/2017 untuk minyak bagian negara 53 persen, kontraktor 47 persen, untuk gas bagian negara 58 persen, kontraktor 42 persen, hanyalah patokan. Dalam proses negosiasilah kemungkinan intervensi dan penyalahgunaan kewenangan akan terjadi dan dampaknya berlangsung puluhan tahun sesuai dengan jangka waktu kontrak.

“Untuk itu, negara perlu melakukan pengawasan yang ketat agar penerimaan negara, baik dari pajak maupun dari bagi hasil migas bisa diselamatkan,” pungkasnya.kbc6

Bagikan artikel ini: