BI Kerek Suku Bunga Acuan, Daya Beli Masyarakat Jadi Taruhan

Kamis, 25 April 2024 | 16:28 WIB ET

BANK Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan (BI rate) menjadi 6,25 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada pada 23-24 April 2024. Langkah ini dikhawatirkan bakal memengaruhi daya beli masyarakat.

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, keputusan Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate di level 6,25 persen hanya sebagai upaya meredam pelemahan rupiah dalam jangka pendek.

"Kenaikan suku bunga cuma obat parasetamol untuk redam pelemahan rupiah jangka pendek. Ya, kalau mau pakai suku bunga terus, jangankan 25 bps, sebanyak 50 bps saja belum cukup cegah pelemahan rupiah," kata Bhima.

Bhima menjelaskan, sejumlah efek dari kenaikan suku bunga acuan ini. Dia bilang, masyarakat akan makin terbebani.

"Efek dari kenaikan bunga acuan membuat masyarakat makin terbebani karena pembelian rumah dan kendaraan bermotor sebagian besar pakai fasilitas kredit," ujar Bhima.

Lalu, kenaikan bunga acuan disebut juga membuat kredit konsumsi lainnya mengalami pelambatan.

Suku bunga di Indonesia yang sudah dalam posisi tinggi, ditambah naiknya bunga acuan BI, jadi makin tinggi lagi.

"Pendapatan masyarakat yang dialokasikan untuk bayar cicilan kredit bisa makin besar porsinya dan mengurangi alokasi pembelian barang lainnya," tutur Bhima.

Dia pun menilai tren kenaikan suku bunga acuan ini masih akan berlanjut. "Kemungkinan akan naik 25-50 bps dalam waktu dekat," pungkas Bhima.

Sementara itu Analis Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani menyebut, dengan kebijakan moneter yang cukup agresif ini, ada tiga hal yang akan menjadi tantangan.

Pertama, kebijakan perbankan yang cenderung akan menaikkan suku bunga kredit, sehingga di sektor usaha akan mengalami kenaikan cost of fund. 

Menurutnya hal ini akan mendorong kenaikan Harga Pokok Penjualan (HPP) atas produksi.

"Ini hal pertama yang perlu dimitigasi, yaitu timbulnya inflasi karena kenaikan harga pokok produksi atau cost push inflation," kata Ajib dikutip dari keterangan tertulisnya, Kamis (25/4/2024).

Kedua adalah pelemahan daya beli masyarakat. Dengan semakin sedikitnya likuiditas dan potensi kenaikan harga barang, maka daya beli masyarakat akan mengalami tekanan.

Apalagi, pemerintah juga mempunyai ruang fiskal yang relatif terbatas untuk menopang daya beli masyarakat dengan skema bantuan sosial (bansos).

Terakhir, yakni pelambatan ekonomi. Ajib mengatakan, tren pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup bagus pasca pandemi, karena bisa di atas 5 persen.

Namun di sisi lain, pertumbuhan ekonomi ini sedang menghadapi masalah, yaitu tren yang menurun. Tahun 2022 pertumbuhan ekonomi secara agregat mencapai 5,31 persen dan tahun 2024 hanya mencapai 5,05 persen.

Dia melanjutkan, tren penurunan ini diharapkan kembali bisa rebound di tahun 2024, sehingga pemerintah membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi pada angka 5,2 persen.

"Ketika pemerintah membuat kebijakan moneter dengan menaikkan tingkat suku bunga acuan, semakin tidak mudah mencapai pertumbuhan ekonomi yang diharapkan,"

ucapnya.

Berkaca dengan hal tersebut, dia menilai pemerintah perlu membuat program dan kebijakan yang komprehensif dan berorientasi jangka panjang.

Untuk mengendalikan inflasi dan bisa tetap dalam kisaran 2,5 persen plus minus 1 persen, pemerintah perlu membuat ekosistem bisnis yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah, dengan melibatkan semua stakeholder ekonomi yang ada.

Termasuk untuk sektor pertanian, perkebunan, maritim, energi dan lainnya.

Sementara untuk menghindari crowding out, pemerintah harus fokus dengan menawarkan investasi jangka panjang yang lebih menarik, dibandingkan dengan investasi jangka pendek.

"Investasi jangka panjang ini harus ditopang dengan kemudahan berusaha dan insentif yang tepat sasaran," imbuh Ekonom itu.

Selain itu untuk sisi penguatan nilai rupiah, pemerintah harus fokus dan konsisten dengan transformasi ekonomi yang berorientasi ekspor dan substitusi impor.

"Secara bilateral perlu membangun kesepakatan untuk transaksi dagang dengan mata uang lokal, atau dedolarisasi," ujarnya.

Lebih lanjut, kenaikan tingkat suku bunga acuan, secara umum akan menimbulkan dampak tantangan ekonomi. Sehingga pemerintah perlu melakukan penguatan ekonomi, agar bisa mencapai target pertumbuhan dan indikator makro ekonomi yang diproyeksikan.

Seperti diketahui, Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate di level 6,25 persen. Hal tersebut diutarakan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo setelah melakukan Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode 23-24 April 2024 di tengah anjloknya nilai tukar rupiah.

Sehingga, dengan naiknya BI Rate 25 basis poin, diikuti dengan suku bunga Deposit Facility naik menjadi sebesar 5,50 persen, dan suku bunga Lending Facility naik menjadi 7,00 persen.

Perry menjelaskan, alasan menaikkan suku bunga demi memperkuat stabilitas rupiah dari kemungkinan membuturuknya risiko global.

"Serta langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap dalam sasaran 2,5±1 persen pada 2024 dan 2025," imbuh Perry.

Kemudian, ucap Pery, termasuk kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran tetap pro-growth untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. kbc10

Bagikan artikel ini: