Mantan menkeu ini sarankan bansos sentuh masyarakat menengah bawah

Rabu, 20 Mei 2020 | 11:18 WIB ET

JAKARTA, kabarbisnis.com: Pemerintah diminta juga perlu memperhatikan dampak pandemi Covid-19 terhadap masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, bukan hanya kelompok miskin saja.

Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, pandemi Covid-19 hampir menyerang ke semua sektor dan kelompok penghasilan tak terkecuali kelas menengah. Persoalannya, sampai sekarang kebijakan pemerintah arahnya ke kelompok miskin. “Kita butuh memperluas orang yang memperoleh government assistance,” kata Chatib dalam diskusi virtual di Jakarta, Selasa (19/5/2020).

Chatib menambahkan, selama ini skema untuk menetapkan seseorang masuk dalam kategori miskin atau kelompok menengah biasanya dilakukan dengan mengukur aset yang dimiliki. Dengan model ini, orang yang tinggal di rumah kecil dengan lantai tanah dianggap miskin dan layak mendapatkan social protection.

Namun, menurutnya program bantuan sosial ini melupakan kelompok masyarakat berpendapatan menengah ke bawah. Secara khusus, Chatib mencontohkan dalam suatu kasus, ada masyarakat yang memiliki pendapatan upah minimum regional (UMR) senilai Rp 3 juta.

Kelompok masyarakat ini tidak masuk dalam kategori miskin, tetapi mereka tidak cukup memiliki balance sheet untuk tinggal di rumah selama tiga bulan. "Gimana dia membiayai dirinya, pendapatannya pas-pasan. Tabungannya juga tak cukup," ujarnya.

Karena kondisi tersebut, menurut Menkeu di era Susilo Bambang Yudhoyono itu, pemerintah perlu melakukan sesuatu untuk melindungi kelompok berpengahasilan menengah ke bawah ini.

Definisi terkait dengan kemiskinan perlu dirumus ulang untuk memastikan kelompok "new poor" ini masuk dalam kebijakan pemerintah. "Karena mereka diminta stay at home, mereka menjadi kelompok miskin baru di sini," jelasnya.

Pada kesempatan itu, Chatib juga berpendapat bukan menjadi jaminan aminan perekonomian kembali pulih dengan dibukanya sejumlah aktivitas bisnis. Menurutnya, pemulihan ekonomi memerlukan waktu yang tak cepat.

Dia mencontohkan Swedia menerapkan skenario santai (relax) saat adanya pembatasan wilayah atau lockdown. Sedangkan Denmark menerapkan skenario ketat atau (strict). Namun keduanya memiliki kesamaan, yakni masyarakatnya menghabiskan uang yang lebih sedikit.

"Kecenderungan orang untuk spend less money, itu mirip. Jadi yang bisa disimpulkan, walaupun dibuka, orang masih belum beraktivitas ekonomi," jelas Chatib menanggapi rencana pemerintah merelaksasi sejumlah aktivitas bisnis secara terbatas.

Selain itu, menurutnya tak mudah untuk menerapkan 'V Shape' atau perekonomian kembali meningkat setelah mengalami penurunan tajam. Dunia usaha juga memerlukan waktu dan biaya tambahan yang tak sedikit untuk kembali memulai bisnisnya.

"V Shape itu enggak gampang, karena reopening itu butuh waktu. Apalagi kalau produksinya sudah kena, orang keburu berhenti, dia harus rehire lagi, ekonominya masih akan berbentuk U Shape.Orang harus diyakinkan dulu. Tapi buat saya ini masuk akal, kalau ketemu orang, walaupun sudah dibuka (lockdown), saya enggak yakin, dia kena Covid-19 apa enggak kan kita enggak tahu. Mau salaman juga masih enggak yakin," bebernya.kbc11

Bagikan artikel ini: