NPL masih tinggi, alasan bank belum pangkas suku bunga kredit

Selasa, 25 Februari 2020 | 10:37 WIB ET

JAKARTA, kabarbisnis.com: Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, belum diturunkannya suku bunga kredit oleh perbankan dikarenakan tingkat non performing loan (NPL) atau kredit macet yang masih tinggi.

Sejumlah pihak memang mempertanyakan belum dilakukannya penurunan suku bunga kredit oleh perbankan meski Bank Indonesia (BI) telah memangkas suku bunga acuan sampai 100 basis points (bps). 

Tauhid mencatat, pada Juli 2019, BI menurunkan BI 7 Days Repo Rate dari enam persen menjadi 5,75 persen. Namun, tiga bulan kemudian, suku bunga pinjaman hanya bergerak sedikit. 

"Suku bunga pinjaman modal kerja Bank Umum sebesar 10,39 persen pada Juli 2019 menjadi 10,22 persen di bulan Oktober 2019," katanya seperti dikutip, Senin (24/2/2020). 

Hal serupa terjadi ketika BI 7 Days Repo Rate telah diturunkan menjadi lima persen pada bulan Oktober 2019. Tauhid menjelaskan, tetap saja saja suku bunga pinjaman modal kerja Bank Umum tetap bertengger di angka 10 persen pada Januari 2020.

Tauhid bilang, hal itu disebabkan oleh tingginya NPL perbankan, yaitu menjadi 2,77 persen. Persentase itu jauh lebih besar dibandingkan Juli 2019 yang berkisar 2,5 persen. 

"Artinya, perbankan masih menghadapi risiko kredit bermasalah pada beberapa bulan mendatang," ujarnya. 

Tauhid menilai, tingkat NPL yang tinggi disebabkan oleh ketidakpastian makro ekonomi di Indonesia sebagai imbas dari kondisi global. Kondisi ini diketahui sudah terjadi sejak dua tahun silam sejak perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China dan dilanjutkan dengan outbreak virus corona (Covid-19) di awal tahun. 

Situasi makro ekonomi ini yang dinilai Tauhid menjadi faktor anomali di perbankan. Seharusnya, ketika suku bunga tinggi rendah, NPL berpotensi menurun. "Namun, kemarin menarik, suku bunga diturunkan dari Juli sampai Desember, NPL masih naik," ucapnya. 

Dari beberapa sektor, Tauhid melihat, industri manufaktur paling terimbas. Rasio kredit bermasalahnya paling tinggi dibandingkan sektor lain. Hal ini dapat dimaklumi mengingat industri manufaktur mengalami perlambatan akibat penurunan banyak negara sejak tahun lalu, sebagai dampak perang dagang AS-China. 

Di sisi lain, Tauhid menambahkan, perbankan juga sudah mempertahankan Net Interest Margin (NIM) Rasio sejak Juli 2019 pada level 4,9 persen hingga saat ini. Nilai tersebut merupakan level terendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.  

Artinya, Tauhid menekankan, perbankan tidak mau lagi kehilangan NIM lebih besar pada bulan-bulan berikutnya. "Dengan demikian, tidak bisa diharapkan suku bunga pinjaman perbankan akan jauh lebih turun dari yang diharapkan," katanya. 

Salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk memperbaiki kondisi ini adalah membantu sektor dengan NPL tinggi. Misalnya, sektor industri yang saat ini sedang turun. Bantuan dapat berupa keringanan pajak, pengurangan bea masuk untuk bahan baku industri hingga menerapkan non tarif untuk industri serupa di dalam negeri. 

Untuk bank sentral, Tauhid menganjurkan bank sentral juga fokus menurunkan tingkat inflasi. "Bank sentral juga mendorong kalangan perbankan untuk melakukan efisiensi agar NIM tidak terdistorsi lagi," ujarnya. kbc10

Bagikan artikel ini: