Dibalut sayang ibu, penjual lontong dan pecel rawon berbagi berkah gas bumi

Sabtu, 15 Desember 2018 | 22:29 WIB ET
(Purna Budi/kabarbisnis.com)
(Purna Budi/kabarbisnis.com)

SURABAYA, kabarbisnis.com: Aroma sedap yang menguat dan menggugah selera itu datang dari kuah rawon dalam panci lurik diatas kompor, menyeruak diantara hilir mudik orang-orang yang tengah asyik meracik rempah. Di sudut lain sana, seseorang berkucur keringat tak kalah asyiknya, memotong daging, sebentar kemudian menyiapkan bumbu pecel dalam toples besar.

Di ruangan berukuran 2 X 6 meter persegi itu berjajar empat kompor gas bertekanan besar yang tersambung dengan pipa gas milik PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN).

Cukup gerah bagi kita yang tidak terbiasa berlama-lama di dapur dan memasak dalam jumlah besar, namun tidak demikian bagi Ibu Lilis, sapaan penjual ‘Pecel Rawon Moroseneng’ yang buka malam hari di rumahnya di Jl. Pucang Anom Surabaya ini.

Usaha pecel rawon itu sudah berlangsung sejak bertahun-tahun lalu kala ia masih remaja. Waktu itu, ibunya yang membuka warung pecel di malam hari, usai toko kain ‘Moroseneng’ tutup. Tidak seperti sekarang, dulu warung itu hanyalah sebuah warung dengan tenda kecil ala kadarnya, tanpa pegawai, hanya anak-anak pemilik warung, termasuk juga Bu Lilis. Setelah ibunya pensiun, Bu Lilis pun melanjutkan dan mengembangkan usaha pecel Moroseneng rintisan orangtuanya itu.

“Dulu, jualannya hanya nasi pecel, lantas ada pembeli yang minta kuah rawon saat makan pecel. Sejak saat itu pecel ditambah kuah rawon ini dikenal dengan pecel rawon. Kalau banyak peminatnya mengapa tidak,” kata Bu Lilis.

Masih memenuhi permintaan pembeli, ia pun mengembangkan usahanya, bukan hanya menjual nasi pecel dan nasi rawon, tapi juga menu lain selain nasi lalapan, soto, bali pun tersedia. Namun, pecel rawon tetap dipertahankan, sebab menu tersebut yang paling diminati pelanggan dan sudah menjadi ciri khas usahanya. Seiring berkembangnya usaha, bertambah pula pegawainya. Dari tujuh pegawai kini tidak kurang dari sebelas pegawai yang membantunya.

Seperti halnya Bu Lilis , semangat dalam wirausaha juga ditunjukkan oleh Pak Rahmad (60) yang beralamat di JL. Banyu Urip, Kecamatan Sawahan.

Di pagi itu, Pak Rahmad yang ditemani istri tercintanya terlihat asyik merobek lembaran demi lembaran daun pisang dan membersihkannya, lalu membuat selongsong lontong dengan cetakan paralon ukuran sedang. Meski tak lagi sebagai pasangan muda, kemesraan mereka berdua masih tampak jelas. Sesekali mereka bercakap-cakap dengan mesranya, memperbincangkan tentang banyak hal, mulai harga daun, pesanan lontong untuk esok, sampai tagihan bulanan gas.

“Begini kegiatan kami setiap hari, membuat selongsong, sore mengisi, malam masak lontong dan saat Subuh tiba sudah siap memasarkannya,” tutur Rahmad di rumahnya.

Bapak tiga anak ini mengisahkan, usaha membuat lontong sudah digelutinya sejak tahun 1980-an. Saat masih bujangan itu dan belum menjadi pengusaha lontong seperti sekarang, tetapi ia hanya membantu tetangga yang pengusaha lontong. Setelah berkeluarga baru ia membuka usaha sendiri. Hingga kini, setelah 38 tahun menjalankan usahanya dan semua anaknya sudah berumah tangga ia tetap setia membuat dan menjual lontong.

Lontong yang dibuatnya dijajakan kepada para pedagang di Pasar Keputran dan pengusaha katering. Rahmad bersyukur, meski sekampungnya banyak warga juga sama-sama memproduksi lontong, namun tidak sampai main sikut-sikutan diantara mereka. Mereka saling menghargai, jika ada pengusaha yang berjualan di pasar A yang lain pasti tidak akan berjualan di sana. Tetapi, lebih memilih mencari pasar baru. Dengan begitu, usaha mereka bisa bertahan hingga sekarang. Memudahkan proses produksi ia bermitra dengan pedagang beras dan penjual daun yang setiap hari mengirin bahan mentah ke rumahnya.

Itulah Bu Lilis dan Pak Rahmad. Mereka adalah dua sosok warga kota Surabaya yang ulet dalam melakoni usaha kecilnya. Keuletan mereka itulah yang diharapkan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya bisa dicontoh warga kota Surabaya lainnya dalam berwirausaha, memberdayakan potensinya di tengah hiruk pikuknya keramaian kota Surabaya.

Kepedulian Pemerintah Kota Surabaya terhadap warga kota Surabaya terutama yang memiliki usaha kecil dan menengah (UKM) ditunjukkan melalui berbagai program. Salah satunya adalah dengan memberi dukungan kepada PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGN) untuk menjalankan amanat pemerintah melalui Kementerian ESDM untuk membangun jaringan distribusi gas bumi untuk rumah tangga (Jargas) dan program PGN  Sayang Ibu.

“Program Jargas dan PGN Sayang Ibu ini sejalan dengan program Surabaya sebagai Green City. Serta menjadi salah satu momentum nyata keberpihakan pemerintah kepada kebutuhan nyata masyarakat,” kata Walikota Surabaya Tri Rismaharini dalam satu kesempatan peresmian dan groundbreaking Proyek Infrastruktur Energi Jaringan Gas Bumi Kota Surabaya di Rungkut, Surabaya beberapa waktu lalu.

Pembangunan Jargas yang mulai dilakukan sejak tahun 2009 merupakan program pemerintah untuk meningkatkan pemanfaatan gas bumi dan menekan subsidi bahan bakar minyak (BBM) serta mendorong penggunaan energi yang lebih bersih. Program ini menjadi prioritas pemerintah untuk mempercepat konversi BBM ke gas bumi. Karena cadangan minyak yang semakin menipis, hanya mampu bertahan sekitar 13 tahun. Sementara cadangan gas masih cukup melimpah. Penggunaan gas juga jauh lebih menguntungkan, baik secara ekonomi, lingkungan, maupun bagi masyarakat.

Sedangkan program PGN Sayang Ibu adalah program pemasangan satu juta sambungan gas rumah tangga di seluruh Indonesia yang dilaksanakan oleh PGN dan dimulai sejak Maret 2014 dan berkelanjutan pada tahun-tahun berikutnya. Pada program PGN Sayang Ibu ini, pembangunan infrastruktur pipa langsung melalui korporasi dengan dikenakan biaya sambungan seperti halnya awal berlangganan listrik maupun air minum.

Di Surabaya sendiri saat ini, terdapat 24.000 pelanggan Jargas yang dibiayai APBN 2016. Mereka tersebar di Surabaya timur yang meliputi empat kelurahan sebanyak 7.514 sambungan rumah tangga. Surabaya tengah meliputi lima kelurahan sebanyak 8.763 sambungan rumah tangga. Surabaya Selatan meliputi 4 kelurahan sebanyak 7.721 sambungan rumah tangga. Ditambah lagi sebanyak 2.719 pelanggan Jargas ex-BUMD Petro Jatim Utama yang pengoperasiannya dipindahtugaskan kepada PGN, serta 7.000 pelanggan PGN Sayang Ibu.

Dan, Bu Lilis dan Pak Rahmad adalah orang-orang yang beruntung sekali bisa turut serta menikmati legitnya buah program Jargas pemerintah dan program PGN Sayang Ibu tersebut. Manfaat berlangganan gas PGN juga dirasakan warga kota Surabaya di wilayah lain di sekitar mereka. Data PGN menunjukkan, di Banyuurup ada 151 pelanggan Sayang Ibu dan ada 1.783 pelanggan Jargas, selain di Banyuurip juga wilayah lain di sekitarnya, yakni Simo Kwagean, Kupang Krajan dan Petemon Barat.

Bu Lilis menceritakan, dulu, sebelum menggunakan gas PGN, untuk keperluan memasak, dimana dalam sehari ia harus memasak 10 kilogram (kg) daging untuk rawon,  nasi, membuat bumbu, serta memasak menu  lainnya, Bu Lilis membutuhkan sekurangnya 2 tabung elpiji ukuran 12 kg serta satu tabung melon 2 kg untuk menggoreng telur. Ditambah dua tabung 2 kg lagi untuk keperluan di warung. Saat itu, harga tabung 12 kg masih sekitar Rp 80 ribu, lalu naik menjadi Rp 148 ribu. Kenaikan harga elpiji waktu itu sempat membuatnya kelimpungan. Dalam benaknya, ia tidak mungkin mengurangi pegawai, apalagi harus menurunkan kualitas pecel rawon, atau mengurangi bumbu sekedar untuk mengimbangi kenaikan harga gas waktu itu.

Untungnya, masa sulit itu tak berlangsung lama, program Jargas dan PGN Sayang Ibu yang lagi-lagi hangat-hangatnya digulirkan dan mendapat dukungan dari Pemkot Surabaya mampu menjawab kebingungan Bu Lilis. Beruntungnya lagi, untuk pemasangan awalnya ia tak dikenakan biaya alias gratis, tinggal membayar bulanan sesuai pemakaian.

Jadi, andai ditanya enak mana memakai tabung elpiji dengan berlangganan gas PGN, barangkali Bu Lilis adalah orang yang tepat menjawabnya. Dulu, waktu memakai elpiji tabung dalam sehari ia harus merogoh kocek sampai Rp 180  ribu. Itu artinya, sebulan bisa keluar duit lebih kurang Rp 5 juta. Namun, setelah berlangganan gas PGN, pengeluaran bisa dipangkas hampir setengahnya. “Cukup keluar duit sekitar Rp 2 juta untuk bayar gas PGN,” kata Bu Lilis.

Penghematan biaya yang didadap dari pembelian gas itulah yang ia gunakan untuk menambah pegawai seperti sekarang, tujuh karyawan membantunya di warung, sedang lima karyawan lainnya membantunya memasak di rumah. Jumlah karyawan sewaktu-waktu bisa bertambah bergantung kebutuhan, bisa sampai empat orang kalau pas ada keperluan membuat rempeyek atau memasak bumbu pecel dan rawon. Biasanya dua-tiga hari sekali. Dan tenaga tambahan itu melibatkan tetangga kanan kiri yang umumnya menganggur, sedang tidak ada pekerjaan. Bahkan, kalau pasanan khusus dalam jumlah besar, jumlah tetangga yang dilibatkan juga akan bertambah.

“Dengan begini, semakin banyak tenaga kerja yang dilibatkan. Kami coba menciptakan lapangan pekerjaan, sekecil-kecilnya agar bisa berbagi,” tutur Bu Lilis.

Upayanya menciptakan lapangan pekerjaan karena dorongan pribadi serta dukungan Pemkot Surabaya itu cukup berhasil.

Kini, ia berharap ada kemudahan dari PGN soal pembayaran tagihan gas. “Kalau bisa bisa dilakukan setiap minggu. Sebab, jika harus membayar biaya gas bulanan rasanya berat, karena bersamaan dengan membayar karyawan dan kebutuhan lain,” kata Bu Lilis.

Berbagi pengalaman menggunakan gas PGN juga dituturkan Pak Rahmad. Dulu, sebelum menggunakan gas PGN, ia memasak memakai bahan bakar liquid petroleum gas (LPG) dari toko langganan. Waktu itu, setiap hari ia bisa menghabiskan 3-5 tabung LPG ukuran ke 3 kg. Setiap hari harus mengeluarkan uang Rp 50-85  ribu. Bila dilihat nominalnya dalam sebulan  cukup tinggi, yakni sekitar Rp 1,7 juta. Namun,  menjadi murah karena dibayar setiap hari.

Kini ia memasak menggunakan gas PGN. “Pakai gas PGN ini enak sekali, kita tidak khawatir kehabisan, pas masak lancar,  terus tinggal ceklek sampai matang,” kata Pak Rahmad.

Hanya saja, yang masih mengganjal soal bayar bulanan. “Kelihatan langsung gede sekitar sejutaan,” imbuhnya.

Alasannya sederhana mengapa ia keberatan dengan pembayaran secara bulanan. “Saya ini orang yang sulit menyisihkan uang.  Ada uang sedikit akan habis untuk kebutuhan lain,” kata Pak Rahmad.

Bapak bercucu dua ini mengisahkan, waktu anaknya belum mentas proses membuat lontong dikerjakan bersama ketiga anaknya, dalam sehari ia bisa membuat lebih dari 1.000 lontong. Kini ia hanya mampu membuat 400 lontong saja per hari. Sesekali ia meminta bantuan tetangga jika ada pesanan dalam jumlah besar. Biasanya pesanan menumpuk saat musim perkawinan bulan Besar dan Mulud pada penanggalan Jawa. Pesanan datang dari perusahaan katering di Surabaya, Sidoarjo dan Gresik.

“Saat itu ada pesanan  dua ribu  lontong . Agar tidak mengecewakan  pelanggan, saya bagi dengan tetangga, tentunya dengan kualitas yang sama, lumer, tidak keras seperti kebanyakan. Untung seratus, dua ratus tidak mengapa,” ceritanya.

Menurutnya mengerjakan semua pesanan sendiri punya keuntungan lebih banyak, terutama dari pemakaian gas. Tetapi berbagi pesanan pada tetangga menurutnya lebih menyenangkan, selain berbagi rezeki juga menunjukkan rasa kebersamaan sesama pembuat lontong. “Yang  pasti saya sudah usia, kerjanya sudah tidak seperti dulu, kebutuhan juga tidak seperti dulu. Jadi biar rezekinya gantian sama yang muda,” begitu tutur Pak Rahmad sembari melanjutkan membuat selongsong lontong.

Sales Area Head PGN Area Surabaya-Gresik, Misbachul Munir, mengatakan banyak manfaat yang didapat oleh pelaku UMKM seperti di ‘Kampung Lontong” dengan menggunakan gas PGN, salah satunya adalah biaya bahan bakar yang lebih murah. Setidaknya dengan menggunakan gas PGN bisa menghemat biaya produksi mereka hingga 50 persen.

Kalau memakai LPG 12 kg itu sekitar Rp 140 ribu, sedangkan kalau memakai gas PGN hanya sekitar Rp 50 ribu-Rp 60 ribu. “Jadi saving-nya hampir 50 persen.‎ Manfaatnya besar untuk bantu perekonomian mereka," kata dia.

Misbachul menambahkan, masuknya jaringan pipa gas PGN kepada pelanggan UMKM di Surabaya berkat dukungan dari Pemkot Surabaya. "Karena Pemkot juga support supaya UMKM didukung oleh PGN, untuk meningkatkan perekonomian mereka. Hal ini tentunya bisa menjadi contoh bagi daerah-daerah lainnya," kata dia.

Menanggapi permintaan Bu Lilis dan Pak Rahmad soal pembayaran tagihan itu, PGN memberikan solusi pembayaran yang akan memudahkan pelaku UKM lainnya. “Bisa pembayarannya lewat ATM, pusat perbelanjaan yang melayani pembayaran secara online atau dengan fasilitas terakhir yang ditawarkan PGN, yakni pembayaran dengan GO-PAY,” terang dia.

Sekretaris Perusahaan PGN, Rachmat Hutama mengatakan PGN kini hadir dengan inovasi-inovasi untuk mempermudah transaksi pembayaran gas pelanggan, khususnya pelanggan residential dan usaha kecil. PGN dalam hal ini terus melakukan penambahan layanan pembayaran.

"Kami melihat penambahan channel layanan pembayaran ini sangat membantu pelanggan gas bumi PGN untuk membayar tagihan pemakaian gas bumi," katanya.

Pembayaran tagihan gas bumi PGN oleh pelanggan kini dapat menjadi lebih cepat dan tanpa antri, cukup dari satu aplikasi. Melalui fitur GO-BILLS yang disediakan oleh aplikasi GO-JEK, pembayaran dapat langsung menggunakan saldo GO-PAY pelanggan.

Pelanggan cukup memasukkan nomor ID pelanggan dan selanjutnya akan muncul informasi jumlah tagihan gas bumi PGN yang harus dibayar. Setelah itu pelanggan bisa membayar menggunakan saldo GO-PAY. Apabila pembayaran berhasil, akan muncul tampilan struk sebagai bukti pembayaran.(dzurriyah nisa)

Bagikan artikel ini: