Ini strategi pemerintah genjot penerimaan pajak di tahun depan

Selasa, 23 Oktober 2018 | 08:08 WIB ET

JAKARTA, kabarbisnis.com: Pemerintah terus berupaya meningkatkan penerimaan pajak di tahun mendatang. Ada beberapa fokus kebijakan teknis yang ditetapkan pemerintah dalam meningkatkan penerimaan pajak di tahun depan.

Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Yon Arsal mengatakan, pemerintah akan fokus menguatkan pelayanan perpajakan. Mulai dari melakukan simplifikasi registrasi, perluasan tempat pemberian pelayanan, perluasan cakupan e-filling, hingga kemudahan restitusi.

Menilik dampak relaksasi pajak barang mewah properti terhadap pertumbuhan ekonomi

Pemerintah juga akan melakukan pengawasan kepatuhan perpajakan, seperti mengimplementasikan Automatic Exchange of Information (AEoI) dan akses informasi keuangan.

Upaya lainnya adalah melakukan ekstensifikasi dan peningkatkan pengawasan sebagai tindak lanjut pasca tax amnesty, penangangan UMKM dengan pendekatan business development services (DBS), melakukan joint program DJP-Ditjen Bea Cukai (DJBC), membenahi basis data perpajakan, juga menerapkan pengawasan wajib pajak berbasis risiko.

"Untuk meningkatkan penerimaan perpajakan, kami sudah mulai dengan tax amnesty, itu sebagai landasan awal. Kami sudah dapat akses data perbankan. AEoI siap diimplementasikan. Jadi kami akan melakukan tax reform dari masalah-masalah yang muncul dari hasil evaluasi kami. Pertumbuhan penerimaan pajak sampai saat ini sudah 16%. Saya rasa itu sudah baik," tutur Yon, Senin (22/10/2018).

Pemerintah pun akan melakukan penegakan hukum secara berkeadilan dan meningktkan mutu pemeriksaan melalui perbaikan tata kelola pemeriksaan. Tak hanya itu, pemerintah pun akan melanjutkan reformasi perpajakan secara komprehensif, bai menyangkut sumber daya manusia, peraturan perpajakan, IT maupun penyempurnaan proses bisnis.

Yon tak menampik, masih banyak hambatan yang dihadapi untuk meningkatkan penerimaan pajak di tahun ini. Ada faktor internal, dimana masih ada kendala dalam program reformasi perpajakan yang dilakukan, dan faktor-faktor eksternalnya yakni kondisi ekonomi global dan dari domestik.

"Dari ekonomi global, contohnya ekonomi China yang melambat membuat permintaan atas bahan baku ke Indonesia berkurang. Adanya perang dagang juga membuat investor yang di dunia ini melakukan wait and see, jadi investasi menunggu. Apapun suasana di luar menjadi faktor yang berpengaruh," jelas Yon.

Perubahan perilaku pelaku usaha berupa perkembangan model usaha secara elektronik (online) pun menjadi salah satu risiko pada penerimaan pajak. Yon mengatakan, masalah ini tak hanya dialami oleh Indonesia melainkan sudah menjadi permasalahan dunia.

Karena itu, Indonesia tak bisa bergerak sendiri dalam menyelesaikan permasalahan ini. Namun, harus ada upaya mencari solusi bersama secara global. Menurut Yon, yang bisa dilakukan saat ini adalah melakukan optimalisasi data.

Hingga akhir September 2018, penerimaan pajak pun sudah mencapai Rp 900,82 triliun dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar Rp 1,424 triliun. Diperkirakan, penerimaan pajak tahun ini bisa mencapai 95% dari target.

Yon berharap, pencapaian saat ini dan upaya yang dilakukan dapat meningkatkan penerimaan pajak di tahun mendatang. "Untuk target penerimaan pajak 2019 masih dalam pembahasan di DPR," tutur Yon. kbc10

Bagikan artikel ini: