Pernah capai 85, di Jatim kini hanya ada 15 koperasi susu yang masih bertahan
JAKARTA, kabarbisnis.com: Pemerintah telah mengimbau kepada industri pengolahan susu untuk menjalin mitra dengan peternak sapi perah. Hal ini dilakukan agar nasib peternak bisa diselamatkan. Benarkah usaha peternakan sapi perah di Tanah Air memasuki fase kritis? Ibarat hidup segan, matipun tidak mau.
Deddy Fachruddin Kurniawan,peternak sapi perah dari Batu, Jawa Timur mengatakan, profil peternak umumnya hanya memiliki hewan ternak satu-tiga ekor saja. Peternak hanya mengandalkan produk susu segar dan limbah ternak sebagai pupuk . Dengan minim kepemilikan mengakitbatkan rendahnya posisi tawar dihadapan pedagang.
”Break Event Point (BEP) susu segar sebesar Rp 5.200 per liter. Namun, yang terjadi ,harga tebus dibawah Rp 5.000 per liter. Peternak memang tidak menghitung biaya tenaga yang sudah dikeluarkan. Namun secara bisnis, secara hitungan bisnis rugi,” ujar Deddy menjawab kabarbisnis.com usai seminar seminar ‘Meningkatkan Produktivitas dan Kualitas Susu Segar Dalam Negeri: Sharing Peternak Muda di Bogor, kemarin.
Rendahnya kualitas produk susu segar petani kerap menjadi alasan bagi kalangan ‘midlle man’ menekan harga susu peternak. Dokter hewan jebolan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini menambahkan tidak sedikit peternak pun menjual sapi perah untuk dipotong karena margin keuntungan lebih menguntungkan.
Gilirannya, koperasi pun kelimpungan karena kesulitan mendapatkan pasokan susu segar karena berkurangnya hewan ternak. ”Kini jumlah koperasi susu sapi perah di Jawa Timur hanya 15 saja yang masih bertahan beroperasi .Padahal dipertengahan 1980, jumlahnya mencapai 85 koperasi,” ujar Deddy
Mengutip laporan sensus Badan Pusat Statistik (BPS), lebih dari 60% peternak susu sapi perah berusia diatas 55 tahun. Data tersebut dapat diartinya, tidak terjadinya regerenasi peternak. Sekaligus menjadi konfirmasi, usaha pengembangbiakkan sapi perah tidak terlalu diminati generasi muda karena semakin berat tantangan yang dihadapi.
Sementara,peternak sapi perah dari Jawa Barat , Muhammad Dwi Satriyo mengatakan peternak tidak mudah meningkatkan kualitas produk susu sapi segar . Pasalnya peternak harus mengeluarkan biaya lebih besar seperti konsentrat dan pakan. Peternak juga dihadapkan kesulitan memperoleh bibit sapi yang berkualitas.
Peternak, sambungnya, juga kesulitan melakukan rearing –membesarkan anak sapi pilihan, sejak pedet hingga siap kawin. Dwi cukup jauh beruntung dibandingkan peternak tradisional lainnya karena harga susu segar dari sapinya yang berjumlah 100 ekor itu mampu dihargai Rp 6.000-Rp 6.650 per liter atau setara 1.700 per kilogram(kg) per harinya.
Pasalnya, Dwi memiliki sarana transportasi dan rantai pendingin sehingga langsung berhubungan dengan Industri Pengolahan Susu (IPS). Ketersediaan sarana produksi yang dimiliki ini memangkas biaya distribusi sehingga harga susu segar yang diperoleh lebih tinggi.
Baik Deddy dan Dwi mengakui dirilisnya Permentan No 27 Tahun 2017 tentang Penyediaan Susu Segar Dalam Negeri berpengaruh terhadap psikologi pasar . Hal ini mendorong susu segar ditingkat peternak berkisar 10%.
Meski baru fase sosialisasi, mereka berharap Permentan ini mampu dijalankan sehingga dengan sendirinya akan memotivasi peternak untuk memacu produktivitas susu segar yang saat ini masih berkisar 8-10 liter per hari. Melalui cara tersebut, taraf kesejahteraan petani juga akan terangkat.kbc11
Usai Gerbang Utama, CitraLand City Kedamean Siapkan Ikon Baru Theme Park
Kalah Gugatan 1,1 Ton Emas dengan Crazy Rich Surabaya, Begini Tanggapan Antam
PLN dan SIG Kolaborasi Dorong Penggunaan Energi Bersih
Pemerintah Pastikan Tak Alihkan Subsidi Energi Fosil ke EBT
Terus Meningkat, Kebutuhan Pekerja Kreatif Digital Diramal 9 Juta Profesional di 2030