Pernah capai 85, di Jatim kini hanya ada 15 koperasi susu yang masih bertahan

Kamis, 26 April 2018 | 18:55 WIB ET

JAKARTA, kabarbisnis.com: Pemerintah telah mengimbau kepada industri pengolahan susu untuk menjalin mitra dengan peternak sapi perah. Hal ini dilakukan agar nasib peternak bisa diselamatkan. Benarkah usaha peternakan sapi perah di Tanah Air memasuki fase kritis? Ibarat hidup segan, matipun tidak mau.

Deddy Fachruddin Kurniawan,peternak sapi perah dari Batu, Jawa Timur mengatakan, profil peternak umumnya hanya memiliki hewan ternak satu-tiga ekor saja. Peternak hanya mengandalkan produk susu segar dan limbah ternak sebagai pupuk . Dengan minim kepemilikan mengakitbatkan rendahnya posisi tawar dihadapan pedagang.

”Break  Event Point (BEP) susu segar sebesar Rp 5.200 per liter. Namun, yang terjadi ,harga tebus dibawah Rp 5.000 per liter. Peternak memang tidak menghitung biaya tenaga yang sudah dikeluarkan. Namun secara bisnis, secara hitungan bisnis rugi,”  ujar Deddy menjawab kabarbisnis.com usai seminar seminar ‘Meningkatkan Produktivitas dan Kualitas Susu Segar Dalam Negeri: Sharing  Peternak Muda di Bogor, kemarin.

Rendahnya kualitas produk susu segar petani kerap menjadi alasan bagi kalangan ‘midlle man’ menekan harga susu peternak. Dokter hewan jebolan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini menambahkan tidak sedikit peternak pun menjual sapi perah untuk dipotong karena margin keuntungan lebih menguntungkan.

Gilirannya, koperasi pun kelimpungan karena kesulitan mendapatkan pasokan susu segar karena berkurangnya hewan ternak. ”Kini jumlah koperasi susu sapi perah di Jawa Timur hanya 15 saja yang masih bertahan beroperasi .Padahal dipertengahan 1980, jumlahnya mencapai 85 koperasi,” ujar Deddy

Mengutip laporan sensus Badan Pusat Statistik (BPS), lebih  dari 60%  peternak susu sapi perah berusia diatas 55 tahun. Data tersebut dapat diartinya,  tidak terjadinya regerenasi peternak. Sekaligus menjadi konfirmasi, usaha  pengembangbiakkan sapi  perah  tidak terlalu diminati generasi muda  karena semakin  berat tantangan yang dihadapi.

Sementara,peternak sapi  perah  dari Jawa Barat , Muhammad Dwi Satriyo mengatakan peternak tidak mudah meningkatkan kualitas produk susu sapi segar . Pasalnya peternak harus mengeluarkan biaya lebih besar seperti konsentrat dan pakan. Peternak juga dihadapkan kesulitan memperoleh bibit sapi yang berkualitas.

Peternak, sambungnya, juga kesulitan melakukan rearing –membesarkan anak sapi pilihan, sejak pedet hingga siap kawin.  Dwi cukup jauh beruntung dibandingkan peternak tradisional lainnya karena harga susu segar dari sapinya yang berjumlah 100 ekor itu mampu dihargai Rp 6.000-Rp 6.650  per liter atau setara 1.700 per kilogram(kg) per harinya.

Pasalnya, Dwi memiliki sarana transportasi dan rantai pendingin sehingga langsung berhubungan dengan Industri Pengolahan Susu (IPS). Ketersediaan sarana produksi yang dimiliki ini memangkas biaya distribusi sehingga harga susu segar yang diperoleh lebih tinggi.

Baik Deddy dan Dwi mengakui dirilisnya Permentan No 27 Tahun 2017 tentang Penyediaan Susu Segar Dalam Negeri berpengaruh terhadap psikologi  pasar . Hal ini mendorong susu segar ditingkat peternak berkisar 10%.

Meski baru fase sosialisasi, mereka berharap Permentan ini mampu dijalankan sehingga dengan sendirinya akan memotivasi peternak untuk memacu produktivitas susu segar yang saat ini masih  berkisar 8-10 liter per hari. Melalui cara tersebut, taraf kesejahteraan petani juga akan terangkat.kbc11

Bagikan artikel ini: