Tanaman transgenik: Akankah jadi solusi ketahanan pangan cara Jokowi?

Selasa, 12 September 2017 | 11:10 WIB ET

JAKARTA, kabarbisnis.com: Siapapun sepakat , tempe sulit dipisahkan dengan budaya pangan masyarakat Indonesia. Entah karena tidak acuh ataupun bagi mereka yang memahami bahwa mayoritas bahan baku tempe berasal dari kedelai impor yang notabene merupakan produk rekayasa genetika (PRG) atau lebih dikenal sebagai tanaman transgenik.

Ignatia Maria Honggowati, Asisten Deputi Sarana dan Prasarana Pangan dan Pertanian Menko Perekonomian menuturkan lebih dari dua dekade masyarakat Indonesia sudah familiar mengkonsumsi kedelai tempe sebagai bahan baku tempe. Dalam kurun waktu tersebut, belum pernah ditemukan pengaduan masyarakat berkaitan dampak yang ditimbulkan dari mengkonsumsi tempe transgenik.

"Justru disejumlah jurnal WHO menunjukkan tanaman kedelai transgenik ini aman dikonsumsi,"ujar Maria menjawab kabarbisnis.com usai Talkshow  "Dampak Global Tanaman Biotek: Efek Ekonomi dan Lingkungan 1996-2015" di Jakarta, kemarin.

Asal tau saja, mayoritas kedelai diimpor dari Amerika Serikat.Negara Paman Sam itu juga Kemudian disusul Argentina , Malaysia dan negara Afrika utara Ethiopia hingga negara pecahan Rusia yakni Ukrania.Berkaitan hal ini, aku Maria Pemerintah Indonesia memiliki permasalahan untuk mewujudkan  agenda prioritas nawacita yakni mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor ekonomi domestik.

Melihat sejumlah fakta bahwa terjadinya penurunan areal produktif dan degradasi kualitas areal  tanaman pangan, masalah hama dan penyaki baru ,perubahan iklim hingga berkurangnya SDM penyuluhan ini menjadi pertanyaan besar mampukah bangsa ini meraih ketahanan pangan yang berkesinambungan?

Menurut Maria sejumlah permasalahan tersebut dapat dipecahkan salah satunya melalui penggunaan benih unggul salah satunya tanaman biotek atau produk rekayasa genetika (PRG). Merujuk hasil studi Edwin S. Saragih mengungkapkan petani di Jawa Timur memperoleh pendapatan lebih optimal yakni mencapai Rp 8,5 juta per hektare (ha) dengan menggunakan benih transgenik.Sementara bila menggunakan benih hibrida sebesar Rp 6,3 juta.

Hasil studi lainnya yakni dari CARE IPB, penanaman kentang di Brastagi,Lembang Pasuruan, Wonosobo, meski biaya produksi mengalami kenaikan 6,91%, namun pendapatan petani meningkat cukup signifikan yakni sebesar 42,85%.

Director IndoBIC (Indonesian Biotecnology Information Centre) Bambang Purwantara mengatakan penelitian rekayasa genetika tanaman di Indonesia jauh lebih memadai dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya.. Riset rintisan pertama kali dilakukan tahun 1999, ketika Indonesia mengujicobakan tanaman kapas transgenik.

Perkembangan selanjutnya, pemerintah menyadari dibutuhkan insitusi independen yang menguji pelepasan produk transgenik melalui penerbitan Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2005 berkaitaan Komisi Keamanan Keanekaragaman Hayati (KKH) Produk Rekayasa Genetik.Sejumlah insitusi teknis pun dilibatkan seperti Kementerian Pertanian (uji pakan), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (hayati/lingkungan ) dan BPOM ( keamanan pangan).

Hingga kini, sebanyak 22 produk sudah memperoleh sertifikasi keamanan pangan, lima produk sudah memperoleh sertifikasi keamanan pangan dan tiga produk sudah mengantongi sertifikat keamanan pakan.Salah satunya produk yang diteliti itu adalah tebu tahan kekeringan yang dikembangkan di laboratorium biotek PT Perkebunan Nusantara XI (Persero) Universitas Jember dengan Ajinomoto co inc.

Bambang berharap  varietas unggul tebu transgenik bernama NXI 4T ini segera dikomersialkan sehingga dapat dibudidayakan secara massif di Indonesia Timur Riset tersebut telah dirintis sejak tahun 1999. “Untuk memperoleh sertifikasi keamanan pakan saja, benih tebu NXI 4T ini membutuhkan waktu lebih dari lima tahun. Bahkan, benih transgenik jagung baru lolos lebih dari 10 tahun,”ujar Bambang yang juga anggota Komisi KKH yang mewakili profesi ini.

Bambang menambahkan pengujian benih bioteknologi juga Balitbangtan dengan Cornel University yang mengembangkan kentang hawar daun serta  LIPI dengan BB Biogen yang meneliti padi golden rice.Kegiatan riset tengah dilakukan di Rumah Kasa Fasilitas Uji Terbatas (FUT) , Bogor, Jawa Barat.

Bambang menilai Indonesia tertinggal dengan China, Vietnam dan Fhilipina yang baru beberapa tahun terakhir mengenal teknologi bioteknologi.Otoritas yang berkepentingan dari ketiga negara tersebut berhasil menyederhanakan birokrasi  sehingga pelepasan varietas unggul tanaman transgenik itu dapat dikomersialkan.

Kesempatan sama, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin berpendapat lemahnya permintaan benih unggul dan keterbatasan akses petani memperoleh benih unggul menyebabkan lambannya pengembangan tanaman biotek. Bustanul mencontohkan mayoritas petani masih menggunakan benih padi Ciherang yang telah dikomersialkan sejak tahun 1980 an.

Sementara pada saat sisi sama, Badan Litbang terus merilis varietas benih padi unggul hingga Inpari 44 yang tahan hawar daun bakteri.Namun, petani kesulitan memperoleh akses benih unggul tersebut.

Ekonom Senior Institute  for Development of Economic and Finnance (INDEF) ini juga berpendapat intensifikasi pertanian untuk memperoleh provitas hasil tanam padi di Jawa sulit dilakukan. Perbaikan input melalui penggunaan benih unggul seperti tanaman transgenik diyakini dapat melipatgandakan provitas.

Selain itu,penggunaan tanaman biotek menjadi respon terhadap makin tingginya alih fungsi lahan pertanian.Karenanya, Bustanul melihat penggunaan tanaman transgenik dinilai lebih relevan ketimbang upaya luas tambah tanam (LTT) versi Kementan .Upaya tersebut masih diragukan memperoleh hasil optimal karena penanaman berada dilahan suboptimal di luar Jawa yang notabene umumnya merupakan lahan non irigasi.

Meski begitu Bustanul cukup memahami pelepasan varietas produk tanaman trangenik membutuhkan proses pengujian yang waktu lama. Misalnya Lapangan Uji Multilokasi dan Adaptasi."Belum tentu tanaman transgenik itu cocok ditanam di Lampung tapi cocok pula di Jawa," kata dia.

Penajaman riset dan sosialisasi budidaya melibatkan semua pemangku kepentingan perlu ditingkatkan. Kegiatan budidaya lebih baik menggandeng petani skala korporasi yang senantiasa dimonitor produsen benih.

Maria menjelaskan kembali dalam penyusunan cetak biru pengembangan produk bioteknologi menargetkan Indonesia dapat mandiri menyediakan benih unggul transgenik secara mandiri pada 2045. Namun bukan berarti, pemerintah menutup diri apabila pelepasan produk transgenik ke pasar sudah dapat dilakukan dalam waktu satu-dua tahun.

Graham Brookes,Direktur PG Economics Ltd menyebutkan pengembangan tanaman biotek selama lebih dari 20 tahun telah meningkatkan kesejahteraan 16,5 juta petani gurem di sejumlah negara berkembang. Caranya dengan pengendalian hama dan gulma yang lebih baik sehingga terjadi kenaikan hasil panen.

Misalnya,petani di Bolivia yang menanam kedelai toleran herbisida mampu meningkatkan hasil panen sekitar 15%.Pada tahun 2015, petani di negara berkembang menerima US$ 5.26 untuk tambahan yang diinvestasikan dalam benih biotek.Jauh lebih tinggi dari petani di negara maju yang menerima US$ 2,76

Adapun, tanaman biotek telah mengurangi dampak lingkungan pertanian berupa mengurangi penggunaan pestisida sebesar 619 juta kilogram atau setara pengurangan global sebesar 8,1%.Adapun dari rerata pendapatan meningkat sebesar US$ 90 per hektare atau setara keuntungan bersih di tingkat petani US$ 15,5 miliar pada 2015 di 26 negara yang mengadopsi teknologi biotek.kbc11

Bagikan artikel ini: