Delisting disetujui pemagang saham, Lamicitra Nusantara siap buyback saham

Jum'at, 16 Juni 2017 | 22:30 WIB ET

SURABAYA, kabarbisnis.com: Selangkah lagi PT Lamicitra Nusantara Tbk (LAMI) berubah status dari perusahaan terbuka menjadi perusahaan tertutup (go private). Ini menyusul disetujuinya pengajuan perseroan untuk melakukan delisting (keluar dari papan pencatatan saham) dari Bursa Efek Indonesia (BEI) oleh pemegang saham pada Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) di Surabaya, Jumat (16/6/2017).

PT. Lamicitra Nusantara Tbk. merupakan perusahaan pengembang dan pengelola properti, seperti pusat perbelanjaan, rumah toko, kios dan kawasan berikat. Melalui anak perusahaannya, LAMI juga terlibat dalam pengelolaan hotel, pengelolaan pergudangan kontainer, dan perumahan. LAMI membangun pusat perbelanjaan di Jawa Timur dengan nama Jembatan Merah Plaza, dan juga Hotel Tunjungan. LAMI juga membangun dan mengelola zona berikat di pelabuhan Tanjung Emas di Semarang, Jawa Tengah.

Direktur PT Lamicitra Nusantara Tbk, Priyo Setya Budi menuturkan, ada beberapa alasan perseroan memilih untuk mengubah status menjadi go privat. Alasan pertama, adalah karena perseroan selama mencatatkan sahamnya di bursa tak pernah melakukan right issue atau mengeluarkan surat utang.

"Alasan kedua bahwa transaksi saham perseroan di bursa tidak aktif, sehingga pergerakannya di bawah rata-rata emiten properti di Indonesia. Artinya saham kita tidak liquid," katanya usai RUPSLB perseroan di Suraaya, Jumat (16/6/2017).

"Selama ini kami tidak mengandalkan modal dari pasar modal. Kami bekerja dengan kekuatan modal sendiri dan dapat dikelola sendiri," imbuhnya.

Alasan ketiga, lanjut Priyo, karena perseroan tidak sanggup memenuhi persyaratan sebagai perusahaan go publik yang ditetapkan otoritas bursa. Yakni batasan kepemilikan saham oleh publik sebesar 7,5%, namun hingga saat ini komposisi saham perseroan yang dimiliki publik baru sebesar 7,11%.

"Kita sudah maksimal, namun siapa lagi yang mau membeli? tukas Priyo.

Dikatakannya, aturan ini tertuang dalam Lampiran I Surat Keputusan Direksi PT Bursa Efek Indonesia No.Kep-00001/BEI/01-2014. Otoritas bursa mewajibkan seluruh emiten memenuhi persyaratan paling lambat 24 bulan (2 tahun) terhitung sejak diberlakukannya keputusan ini (30 Januari 2014).

Dalam aturan itu juga mewajibkan jumlah pemegang saham paling sedikit 300 pemegang saham yang memiliki rekening efek di anggota bursa efek. Sementara Lamicitra Nusantara saat ini baru bisa memenuhi sekitar 200 nama pemegang saham.

"Kalau tidak dipenuhi, emiten akan dikenai denda dan berikutnya akan disuspend," bebernya.

Direktur PT Lamicitra Nusantara Tbk Robin Wijaya Gejali menambahkan, bagi emiten, persyaratan yang dipatok BEI tersebut cukup memberatkan, apalagi bagi yang sahamnya liquid. "Kita sudah masuk di bursa, idealnya otoritas bursa juga ikut peduli atas saham-saham yang dipasarkan di bursa. Bagaimana mereka bisa menarik investor untuk membeli saham kita. Namun justru BEI tidak mau tahu," tandasnya.

Oleh karena itu, manajemen PT Lamicitra Nusantara Tbk memutuskan untuk keluar dari bursa dan memilih sebagai perusahaan tertutup. "Setelah mendapat persetujuan pemegang saham, kita akan laporkan ke BEI, OJK, BKPM, dan Kemenkumham. Masih butuh proses karena perseroan juga akan menyiapkan tender untuk pembelian saham independen," ujarnya.

Perseroan, lanjut Robin, telah siap untuk membeli kembali (buyback) saham dari publik secara independen dengan harga Rp 814 per saham. "Sedangkan harga pasar tertinggi saat ini di angka Rp 515 per saham," ungkapnya yang menyebut total jumlah saham perseroan sebanyak 81,730 juta saham.

Pihaknya menargetkan proses perubahan status perseroan sudah rampung dalam tahun ini. Sehingga diharapkan ke depan manajemen akan lebih fokus kepada perbaikan kinerja dan ekspansi usaha.

Terkait kinerja perseroan, sepanjang tahun 2016 lalu Lamicitra Nusantara membukukan di kisaran Rp 100 miliar atau turun 62 persen dibanding pendapatan di tahun sebelumnya.

Sedangkan pada kuartal I tahun 2017, perseroan membukukan pendapatan usaha sebesar Rp 23,88 miliar atau turun dibanding sebelumnya yang sebesar Rp 25,5 miliar. Laba yang dapat diatribusikan ke pemilik entitas induk turun menjadi Rp 2,61 miliar dari Rp 7,28 miliar per Maret 2016. kbc7

Bagikan artikel ini: