Antisipasi Kenaikan Suku Bunga, Ini Langkah yang Bisa Dilakukan Bank
JAKARTA, kabarbisnis.com: Tingginya suku bunga acuan yang dipatok Bank Indonesia (BI) berdampak kepada bank BUMN. Hanya saja, baik BI maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dinilai kurang transparan menyangkut kondisi perbankan pelat merah.
"Jangan sampai kondisi memburuk kemudian negara harus menanggung rekap perbankan (BLBI), seperti kejadian 1998," kata Presiden Direktur Centre for Banking Crisis (CBC), Achmad Deni Daruri seperti dikutip, Selasa (15/8/2023).
Guna mengantisipasi dampak negatif dari kenaikan suku bunga, kata Deni, perbankan bisa melakukan sejumlah langkah. Pertama, menyesuaikan struktur aset dan kewajiban bank sesuai dengan profil risiko suku bunga.
"Bank harus memperhatikan jangka waktu dan sensitivitas suku bunga dari aset dan kewajiban bank. Bank harus mengurangi mismatch antara aset dan kewajiban yang memiliki jangka waktu dan sensitivitas suku bunga yang berbeda," kata Deni.
Kedua, lanjutnya, meningkatkan efisiensi operasional bank untuk mengurangi biaya operasional. Bank harus melakukan rasionalisasi cabang, optimalisasi sumber daya manusia, pengembangan teknologi informasi, dan peningkatan layanan nasabah.
"Ketiga, meningkatkan diversifikasi sumber pendapatan bank untuk mengurangi ketergantungan pada pendapatan bunga. Bank harus mengembangkan produk dan layanan non-bunga, seperti fee-based income, treasury income, dan bancassurance," kata Deni.
Terakhir, lanjut Deni, meningkatkan kualitas kredit bank untuk mengurangi risiko gagal bayar. Bank harus melakukan analisis kredit yang lebih ketat, pemantauan kredit yang lebih intensif, restrukturisasi kredit yang bermasalah, dan peningkatan cadangan kerugian penurunan nilai.
"Permasalahannya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak transparan menjelaskan progress dari beberapa poin tadi kepada publik. Sejauh mana bank BUMN telah melakukannya. Jika OJK tidak transparan, maka bukannya tak mungkin bank BUMN akan kembali direkapitaliasi lagi," terang Deni.
Sementara itu, lanjut Deni, BI memiliki dua peran penting dalam pasar surat utang negara (SUN), yaitu sebagai pembeli SUN dan sebagai pengawas bank.
Sebagai pembeli SUN, BI bertujuan untuk mendukung kebijakan moneter dan fiskal pemerintah, serta mengelola cadangan devisa negara. Sebagai pengawas bank, BI bertanggung jawab untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan mencegah risiko kredit macet.
"Namun, kedua peran ini dapat menimbulkan konflik interest, karena BI dapat mempengaruhi harga dan permintaan SUN di pasar, serta menentukan tingkat bunga acuan yang berdampak pada biaya modal bank khususnya BUMN," paparnya.
Konflik kepentingan ini, kata Deni, dapat mengurangi efektivitas kebijakan moneter dan fiskal, serta menimbulkan distorsi alokasi sumber daya dan moral hazard dalam pengawasan Bank BUMN. "Janganlah lupa bahwa moral hazard juga bagian utama dari rekapitalisasi bank BUMN pada 1998," kata dia.
Berdasarkan data BI, total biaya langsung rekapitalisasi bank BUMN pada 1999 mencapai Rp 432,5 triliun. Atau setara 55 persen dari PDB tahun 1998.
Biaya langsung ini terdiri dari Rp 144,5 triliun untuk rekapitalisasi bank-bank BUMN yang masih beroperasi. Kemudian Rp 288 triliun untuk menutup kerugian bank-bank BUMN yang dilikuidasi.
Sementara itu, biaya tidak langsung rekapitalisasi bank BUMN sulit untuk diukur secara pasti. Namun beberapa studi telah mencoba untuk mengestimasinya dengan menggunakan berbagai asumsi dan skenario.
Salah satu studi yang dilakukan oleh Bank Dunia pada tahun 2000 memperkirakan bahwa biaya tidak langsung rekapitalisasi bank BUMN berkisar antara Rp1.200 triliun hingga Rp2.400 triliun. Atau sekitar 150 persen hingga 300 persen dari PDB tahun 1998. kbc10
Bos SIG Raih The Best CEO di Ajang Top BUMN Awards 2023
Siap-siap! Penyatuan NIK Jadi NPWP Berlaku Penuh Mulai Pertengahan 2024
SIG Raih Apresiasi Marketeer of the Year 2023
Domscorner Berdayakan UMKM hingga Warga Lokal via Marketplace Produk Fesyen
Ketua DK LPS: Transformasi dan Penambahan Mandat untuk Penguatan Peran dan Fungsi LPS