Instrumen HET beras dinilai berpeluang picu pasar gelap

Selasa, 4 April 2023 | 23:28 WIB ET

JAKARTA, kabarbisnis.com: Instrumen Harga Eceran Tertinggi (HET) dinilai belum efektif dalam mengatasi fluktuasi harga beras di tingkat konsumen. Proses produksi yang belum efisien dan rantai distribusi yang panjang turut berkontribusi terhadap harga beras yang lebih tinggi dari HET di pasar.

"Kalau pelaku usaha dipaksa untuk mengikuti harga HET dengan menekan margin, maka yang akan terjadi adalah tidak ada pelaku pasar yang akan menjual beras domestik. Hal ini akan berdampak pula di sektor hulu dengan berkurangnya pendapatan petani gabah," ujar Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Mukhammad Faisol Amir di Jakarta, Selasa (4/4/2023).

Dampak selanjutnya adalah bukan tidak mungkin penggilingan menengah juga akan berhenti berproduksi. Masalah-masalah ini akhirnya akan merusak perdagangan beras di Tanah Air. Menurut Faisol, instrument ini justru berpeluang memicu adanya pasar gelap dan meningkatkan risiko kelangkaan beras.

Peluang terjadinya percampuran beras kualitas medium dengan beras dengan kualitas lebih rendah pun dapat terjadi. Hal-hal ini tentu akan merugikan konsumen. Penetapan harga untuk Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani dan GKP di tingkat penggilingan yang sebelumnya sudah dilakukan juga tidak menjamin kestabilan harga karena harga pasar selalu lebih tinggi daripada harga yang diatur oleh pemerintah.

Adanya kesenjangan harga ini pada akhirnya membuat petani lebih memilih untuk menjual beras kepada pihak swasta yang mau membayar lebih mahal dari harga yang sudah ditetapkan. Penetapan HET di tingkat penjual juga tidak efektif karena harga jual sudah lebih tinggi dari HET. Dampak dari petani yang lebih memilih menjual berasnya kepada pembeli swasta antara lain adalah menurunnya serapan beras Bulog. Harga beras di pasar ritel Indonesia secara konsisten selalu di atas HET.

Permasalahan beras Indonesia, adalah tidak sebandingnya jumlah permintaan (demand) dengan penawaran (supply). Belum lagi persoalan distribusi yang juga masih menjadi pekerjaan rumah yang besar di Indonesia. Cepatnya laju penambahan penduduk tidak diimbangi dengan memadainya jumlah ketersediaan beras.

Peningkatan jumlah populasi dan juga pendapatan berarti juga peningkatan permintaan makanan, terutama beras sebagai bahan makanan pokok. Kesinambungan kebijakan seputar harga beras sangat diperlukan untuk memastikan keterjangkauan dan akses konsumen terhadap beras, selain diperlukan kebijakan lainnya seperti peningkatan produktivitas.

"Langkah yang perlu dipastikan saat ini bukan fokus pada penetapan HET lagi, tetapi bagaimana membantu petani meningkatkan efisiensinya di tengah berbagai tantangan, seperti perubahan iklim dan stagnannya produktivitas beras," tutur Faisol.

Penerbitan Peraturan Badan Pangan Nasional No 7 Tahun 2023 tentang harga beras menetapkan HET beras berdasarkan zonasi. Untuk Zona 1 meliputi Jawa, Lampung, Sumsel, Bali, NTB, dan Sulawesi, HET beras medium senilai Rp10.900 per kg, sedangkan beras premium Rp13.900 per kg. Sementara itu, harga di Zona 2 yang meliputi Sumatera selain Lampung dan Sumatera Selatan, NTT dan Kalimantan, ditetapkan sebesar Rp11.500 per kg dan beras premium Rp14.400 per kg. HET di Zona 3, yang meliputi Maluku dan Papua, ditetapkan sebesar Rp11.800 per kg untuk harga beras medium dan Rp14.800 per kg untuk beras premium.kbc11

Bagikan artikel ini: