Kajian UI: Dugaan kartel harga minyak goreng prematur

Senin, 3 April 2023 | 16:49 WIB ET

JAKARTA, kabarbisnis.com: Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha Fakultas Universitas Indonesia (LKPU-FH UI) penetapan harga minyak goreng oleh sejumlah produsen akibat lonjakan crude palm oil (minyak sawit mentah red) bukan mengindikasikan tindakan kartel.

Ketua LKPU-FHUI Ditha Wiradiputra, SH, ME menyayangkan bukti-bukti yang digunakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam Laporan Dugaan Perkara (LDP) kartel minyak goreng masih terlalu prematur.Data-data tersebut tidak kuat untuk menyatakan adanya pelanggaran Undang-Undang Nomor 5/1999 tentang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli).

Menurut Ditha, tindakan menaikkan harga suatu barang atau jasa dalam kegiatan usaha merupakan tindakan yang biasa  dilakukan.

"Sebagai contoh, pelaku usaha bahan bakar minyak (BBM) akan menaikan harga jual ketika harga minyak dunia meningkat, dan tindakan menaikkan harga tersebut juga dilakukan hampir bersamaan. Sepanjang tidak dilakukan berdasarkan kesepakatan atau perjanjian, maka tindakan tersebut bukan perbuatan yang dilarang. Artinya, tidak tepat apabila investigator KPPU menggunakan tindakan menaikkan harga secara bersamaan sebagai bukti telah terjadi perjanjian," ujar Ditha kepada wartawan di Jakarta, Senin (3/4/2023).

Kajian mengungkapkan, LDP KPU merujuk adanya bukti komunikasi di antara pelaku ternyata hanya berbentuk rekapitulasi rapat-rapat di asosiasi, tanpa menunjukkan materi pembahasan dari rapat-rapat tersebut, khususnya pembicaraan mengenai harga.Ini tidaklah kuat apabila digunakan sebagai bukti adanya penetapan harga.

"Dengan demikian, bisa dikatakan unsur-unsur perjanjian maupun penetapan harga sebagaimana terdapat dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5/1999 tidak terpenuhi," terang Ditha.

Berkaitan dengan dugaan pelanggaran Pasal 19 huruf c UU Antimonopoli, investigator KPPU dalam LDP-nya menyatakan para terlapor secara bersama-sama membatasi peredaran dan atau penjualan yang mengakibatkan kekurangan pasokan atau bahkan kelangkaan minyak goreng. Hal ini berdasarkan keterangan maupun bukti dokumen purchase order dan delivery order beberapa distributor dan peritel untuk kurun waktu 2021 - awal 2022 yang menunjukkan adanya penurunan pasokan minyak goreng kemasan.

Merujuk kajian Tim LKPU-FHUI, bukti-bukti ini kurang relevan. Pasalnya sejumlah pelaku usaha yang menjadi terlapor tidak mendistribusikan dan menjual produk minyak goreng kemasan ke ritel modern maupun pasar tradisional. Dengan demikian, bukti yang dimiliki investigator tidak dapat digunakan untuk menyatakan pelaku usaha yang bersangkutan telah melakukan pembatasan peredaran dan atau penjualan.

"Data tren volume produksi dan volume penjualan minyak goreng kemasan periode Januari 2020 sampai dengan Mei 2022 yang disampaikan pelaku usaha juga menunjukan tidak terdapat selisih yang signifikan antara volume produksi dengan volume penjualan selama periode dugaan pelanggaran. Ini menjadi bukti pelaku usaha yang menjadi terlapor tidak melakukan pembatasan peredaran atau penjualan minyak goreng," kata Ditha.

Ditha pun mencontohkan kasus LDP kartel  Honda-Yamaha tentang penetapan harga motor. KPPU mampu menemukan bukti-bukti dari email kedua perusahaan yang isinya bertentangan dengan UU Anti Monopoli.

Investigator KPPU, masih dalam kajian LKP-FHUI justru telah mengesampingkan faktor-faktor lain yang menyebabkan kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng, seperti kebijakan pemerintah yang kurang tepat, meningkatnya harga CPO dunia. Selain itu, praktek spekulasi dari sejumlah pelaku usaha ritel yang tidak ingin mengalami kerugian karena kebijakan HET.

KPPU, kata Ditha, sebaiknya juga mempertimbangkan putusan Pengadilan Tindakan Pidana Korupsi (Tipikor) dalam perkara dugaan korupsi persetujuan ekspor CPO. Berkaca dari perkara tersebut, majelis hakim dalam amar putusannya juga menyatakan kelangkaan minyak goreng tidak lepas dari kesalahan kebijakan pemerintah. Menurut majelis hakim, intervensi pemerintah terhadap pasar khususnya dalam penetapatan HET ikut berkontribusi dalam kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng karena tindakan tersebut tidak didukung infrastruktur sebagaimana pada sektor BBM, yakni keberadaan Pertamina.

"Pemerintah tidak memiliki stok minyak goreng dan tidak memiliki badan atau lembaga yang menguasai minyak goreng," tukasnya.

Sebagai informasi, di antara tahun 2021-2022, kemelut perang Rusia-Ukrania ikut menyulut harga minyak goreng di masyarakat melonjak melebihi Rp 20.000 per liter dari harga normal Rp 12.000 - Rp 13.000 per liter. Pasalnya kedua negara balkan tersebut memproduksi 30% minyak bunga matahari.

Gilirannya hal tersebut juga ikut mengerek harga minyak nabati lainnya termasuk CPO. Namun, atas hal ini, Dhita mengatakan, KPPU menuduh sebagian pihak melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.kbc11

Bagikan artikel ini: