Duh! RI dinilai sulit keluar dari jebakan kelas menengah
AKARTA, kabarbisbis.com: Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai Indonesia akan sulit keluar dari jebakan pendapatan menengah atau middle income trap hingga 2045. Pasalnya, investasi yang masuk ke Indonesia lebih banyak berupa pembangunan fisik.
Sementara investasi untuk meningkatkan kerja otak anak bangsa sangat minim, seperti investasi di bidang informasi dan teknologi (IT) hingga riset. Akibatnya, perjalanan Indonesia menjadi high income country kian panjang.Kendati dengan pencapaian pertumbuhan ekonomi 5,3% (year-on-year/yoy) pada 2022.
Wakil Direktur Indef, Eko Sulistiyanto melihat dari sisi gross domestic product (GDP) atau produk domestik bruto (PDB), Indonesia masih satu pertiga jalan menuju negara berpendapatan tinggi. "GDP perkapita Indonesia itu US$4.783, jadi masih jauh dari threshold negara maju minimal US$12.000 perkapitanya. Ini masih sepertiga dari negara yang dikatakan keluar dari middle income trap," ungkap Eko dalam keterangan pers secara virtual, Selasa, Jakarta, Selasa (7/2/2023).
Meski demikian, Eko mengungkapkan PDB Indonesia masih jauh lebih baik dari negara tetangga seperti Vietnam (US$3.716,80) dan Filipina (US$3.623,32. Kesempatan sama, Ekonom Center of Macroeconomics and Finance Indef Abdul Manap Pulungan juga melihat, meski ada waktu sekitar 22 tahun menuju target Indonesia menjadi high income country pada 2045, capaian tersebut masih cukup jauh.
"Indonesia menargetkan menjadi negara berpendapatan tinggi pada 2045, berarti sekitar 22 tahun lagi.Sementara PDB kita US$4.783,9 untuk mencapai sekitar US$12.000 itu masih sangat jauh," tukasnya.
Untuk itu, pada posisi saat ini dirinya mengharapkan memang pemerintah mempercepat transformasi ekonomi, salah satunya melalui hilirisasi. "Teorinya Solow itu menyebutkan [pertumbuhan ekonomi] ada kapital, tenaga kerja, dan teknologi.Indonesia di tiga komponen ini masih bermasalah semua," jelasnya.
Mulai dari kapital yang masih bergantung terhadap PMA maupun kedalaman penanaman modal kita masih rendah. Sumber daya manusia (SDM) juga rendah khususnya para tenaga ahli dan sebagian dari mereka berpendidikan rendah.
Teknologi pun menjadi masalah karena nyatanya meski telah ada PMA yang masuk, seharusnya teknologi juga masuk seiring dengan penurunan impor barang. "Saya relatif belum percaya terjadi di Indonesia, ketika itu memang terjadi, seharusnya impor barang kapital kita tidak akan setinggi ini," ujarnya.
Ekonom Center of Industry, Trade, and Investment Indef Ahmad heri Firdaus melihat agar kontribusi ekonomi bertahan terhadap PDB, sektor industri perlu tumbuh dua kali lipat dari pertumbuhan ekonomi. "Saya pernah melakukan penelitian, kalau kita mau keluar dari middle income trap dalam waktu 8-10 tahun, pertumbuhan sektor manufaktur harus dua kali lipat dari pertumbuhan ekonomi nasional selama 5 tahun berturut turut, itu tantangannya," paparnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat penyerapan tenaga kerja di industri pengolahan menjadi ketiga tertinggi sebesar 14,17% dari total penduduk bekerja (153,50 juta orang) atau sekitar 19 juta orang.
"Jadi solusinya pertumbuhan industri harus lebih besar di atas pertumbuhan ekonomi nasional, kalau bisa dua kali lipat, banyak faktor yang harus dilakukan supaya industri manufaktur kita tumbuhnya besar," pungkasnya.kbc11
Gandeng Palang Merah Indonesia, KFC Indonesia Salurkan Dana Kemanusiaan Rp 1,5 Miliar Untuk Palestina
Sasar Kalangan Pebisnis Jawa Timur, OPPO Gelar OPPO International Skyport di Surabaya
Forum Kapasitas Nasional III 2023 Jakarta Bukukan Kontrak Senilai Rp 20,2 Triliun
Modena Home Center Hadir di Surabaya, Bawa Inovasi Smart Living Untuk Smart City
Awal Bulan Depan, Kominfo Bakal Terbitkan Aturan Soal AI