Biodiesel, cara RI lakukan akselerasi transisi energi

Minggu, 9 Januari 2022 | 19:32 WIB ET

JAKARTA, kabarbisnis.com: Pemerintah menetapkan biodiesel sebagai transisi energi alternatif masa depan.Bahan bakar nabati ini bukan hanya berhasil menghemat devisa dari energi fosil, namun juga mengurangi emisi gas rumah kaca.

Biodiesel merupakan bahan bakar nabati yang terdiri atas campuran senyawa methyl ester dari rantai panjang asam lemak yang diperuntukkan sebagai bahan bakar alternatif mesin disel. Penggunaan minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) digunakan sebagai bahan baku utama biodiesel.

Teknis sederhananya, olahan minyak sawit campuran (Fatty Acid Methyl Esters FAME) sebanyak 30% dicampur ke dalam minyak solar sehingga menghasilkan produk bernama B30. Kebijakan ini dirintis sejak tahun 2006 yang diawali dari B5 dan mulai diproduksi masif di mulai tahun 2016 guna penambahan solar sebanyak 20%. Mengutip data dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDKS) menyebutkan program mandatori biodiesel mampu menghemat devisa dari impor solar hingga Rp 176 triliun.

Penghematan devisa ini terhitung sejak tiga tahun terakhir atau setara volume 25 juta kilo liter (KL) dan pembayaran pajak mendekati Rp 9 triliun. "Khusus tahun ini, kita menghitung devisa yang bisa diselamatkan sebesar US$3,9 miliar atau mendekati Rp 59 triliun, khusus di tahun 2021," ujar Tungkot kepada kabarbisnis.com di Jakarta, baru-baru ini.

Ketua Bidang Riset dan Teknologi Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Jummy Bismar Martua menekankan kebijakan dari hilirisasi sawit sejalan dengan Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) yang berupaya meningkatkan penggunaan energi terbarukan di Indonesia dari 5% di 2013 menjadi 23% di 2025 mendatang.

Biodiesel sendiri berperan besar dalam pengurangan emisi gas rumah kaca pada tahun 2020, biodiesel berkontribusi mengurangi emisi 22,48 juta ton CO2 ekuivalen dan diperkirakan akhir 2021 berkontribusi mengurangi emisi 25,4 juta ton CO2 ekuivalen. Kontribusi biodiesel di tahun 2020 berhasil menekan 22% gas rumah kaca dar penggunaan energi fosil sebagaimana target Indonesia yang tertuang dalam dokumen National Determined Contribution (NDC) tahun 2030.

Menurut Jummi, program mandatori B30 ini merupakan dukungan industri sawit terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). "Biodiesel sebagai buah implentasi Indonesia sebagai anggota Paris Agreement yang berupaya mengurangi emisi gas rumah kaca dari 26% di 2020 menjadi 29% di 2030," kata Jummy.

Peranan B30 menjadikan Indonesia sebagai negara pertama di dunia yang sudah mencampurkan energi terbarukan yang menerapkan B30 dengan bahan baku sawit. Dengan argumen yang sama yakni menghadapi perubahan iklim, sejumah negara juga mengurangi penggunaan energi fosilnya dengan mencampurkan bahan bahan bakar nabati.

Seperti Brasil (E27), Norwegia (E20) dan Argentina (E12) --mencampurkan ethanol. Negara industri maju seperti Amerika Serikat (B20) dan Inggris (B10) juga menggunakan biodiesel. Sementara Jerman berbasis ethanol (E10). Negara serumpun juga mengikuti jejak langkah Indonesia seperti Malaysia dan Thailand mengembangkan biodiesel B10 dan B5.

Posisi Indonesia di posisi terdepan dalam pengembangan bahan bakar nabati ini ditopang perkebunan sawit yang mencapai 16,8 juta hektar (ha) dan potensi produktivitasnya dapat ditingkatkan sehingga produksi CPO di tahun 2021 melebihi 51 juta ton. "Indonesia berkontribusi sekitar 64% terhadap pasokan minyak sawit global dan memiliki peran 23% dari minyak global pada tahun 2020. Program B30, B40 ataupun B50 masih bisa didukung oleh perkebunan kelapa sawit nasional," ujarnya.

Adapun di tahun 2022, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan alokasi biodisel 10,1 juta KL, angka ini naik dari alokasi dari tahun ini sebesar 9,4 juta KL. Perkiraan kebutuhan itu berdasarkan pada realisasi impor minyak solar dan realisasi penyaluran biodiesel pada 2021.

Selain itu, asumsi pertumbuhan demand sebesar 5,5% dan estimasi permintaan solar sebesar 33,84 juta kL di tahun 2022. Dirjen Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana menyebutkan program penyaluran program biodiesel pada 2022 ini akan didukung oleh 22 BU BBN dengan kapasitas terpasang sebesar 15,5 juta KL dan kemampuan produksi tahunan sebesar 13,5 juta KL.

Sebagai salah satu perusahaan terbesar yang mengolah Biodiesel, Apical Group, sebut Jummy, saat ini mempunyai kapasitas 2,3 juta metrik ton per tahun 2021 dan siap berperan dalam energi baru terbarukan.Tahun 2021 lalu, realisasi penyaluran mandatori B30 Apical diprediksi sebesar 908.338 dari alokasi 916.441 KL (99,12,%).

Program B30 membawa banyak manfaat ke ranah lingkungan dan ketahanan energi. Biodiesel mengurangi impor bahan bakar sekitar 700.000 juta barel per hari (bph), sedangkan Indonesia hanya memproduksi 778.000 bph. "Biodiesel juga mengentaskan kemiskinan dan menyediakan lapangan bagi 1,5 juta petani sawit," terangnya.

Uji coba B40

Terkait rencana penerapan B40, Dadan menjelaskan pihaknya sudah melakukan pengujian laboratorium dengan tiga komposisi. Pertama, B40 dengan menggunakan FAME dengan spesifikasi yang berlaku sekarang. Kedua, mencampurkan B30 FAME dengan Distilled Palm Oil Methyl Ester (DPME) 10%. Ketiga, uji coba dengan B30% FAME ditambah Hydrogenated Vegetable Oil (HVO) 10%.

"Kami melakukan uji karakteristik dari sisi fisika kimia baik itu yang terkait aspek kinerja, nilai kalori, aspek lingkungan secara khusus kandungan sulfur. Hasilnya secara umum semua juga bisa berjalan di dalam engine," ujarnya.

Pihaknya merekomendasikan B40 dengan dua opsi. Pertama, B30 FAME ditambah DPME 10%. Opsi kedua adalah B30 FAME ditambah HVO 10%. Uji kinerja terbatas pada sampel B40 dan B30 FAME ditambah DPME 10% terhadap B30 menunjukkan penurunan torsi daya 1,1-2,1%, peningkatan konsumsi 1,1%, dan penurunan kapasitas gas buang.

Sedangkan sampel B30 FAME ditambah HVO 10% memberikan nilai tambah pada daya maksimal 0,6% dan torsi maksimal 2,6%Dari sisi kapasitas , produksi FAME sebetulnya mencukupi. Namun apabila memilih B30 ditambah DPME 10%.

Menurut Dadan, pihaknya masih memerlukan waktu untuk memastikan dari produsen melengkapi fasilitasnya terkait penurunan kandungan airnya. "Intinya penambahan DpME10% akan meningkatkan kualitas biodiesel, sehingga pada saat implementasi hanya akan dikenal B40, dengan kualitas biodiesel yang semakin baik," terang Dadan.

Namun, menjadi catatan dalam program mandatori biodiesel juga terkait besarnya pendanaan yang digulirkan BPDKS tahun 2021 sebesar Rp 51,86 triliun dengan volume 9,18 juta KL biosolar. Atas melonjak harga CPO di pasar dunia, pemerintah menerbitkan PMK no 76/PMK.05/2021 merevisi PMK 191/2021.

Dalam bleid terbaru tarif pungutan ekspor terbesar dipatok sebesar US$175 per ton untuk harga CPO di atas US$1.000 per ton.BPDKS memprediksi permintaan ekspor CPO tahun 2022 akan meningkat menjadi 27,9 juta ton.

Meski begitu, BPDKS memperkirakan penerimaan dana tahun ini sebesar Rp 45 triliun , jauh lebih rendah dengan realisasi penerimaan per 17 Desember 2021 mencapai Rp 69,72 trililiun.Alasan prediksi penurunan penerimaan karena terkoreksinya harga CPO di kisaran US$800 - US$900 per ton.

Kepala BPDPKS, Eddy Abdurrachman mengakui besarnya dana yang disalurkan untuk menutupi selisih harga biodiesel dengan solar. Harga biosolar dihargai Rp 5.150 per liter, padahal secara keekonomiannya mencapai Rp 13.746 per liter.

Sedangkan harga solar sendiri berada di kisaran Rp 8.263 per liter. Kian membesarnya insentif biodiesel ini tidak terlepas dari melonjaknya harga CPO di pasar dunia dan meningkatnya konsumsi didalam negeri.Penyaluran BPDKS bagi biosolar sepanjang tahun 2020 mencapai Rp 28,01 triliun dengan volume 8,42 juta KL.

Ketua Umum Aprobi, MP Tumanggor kepada kabarbisnis.com mengatakan, secara ekosistem bisnis produsen mampu memasok kebutuhan FAME bagi mandatori B40. Hanya saja perlu dilakukan analisa dan perhitungan terhadap tersedianya dana BPDPKS karena dengan adanya tambahan volume FAME sekitar 1,5 juta Kl maka akan terjadi pula pengurangan penerimaan dari ekspor CPO.

Tungkot pun menghitung apabila ada peningkatan volume biosolar sebanyak 1 juta KL maka dibutuhkan tambahan biodiesel setidaknya sebesar 300.000 KL. Meski secara kalkulasi bisnis, harga biodiesel sudah lebih mahal, namun jika ditilik faktor ekonomi dan sosial maka program mandatori ini masih visible.

"Pengembangan energi terbarukan di negara industri maju pun,negara tetap memberikan subsidi,Tapi ini kan bukan dari APBN tapi dana pungutan dari ekspor sawit," ujarnya.

Sebagai jalan tengah, menurut Tungkot alokasi alokasi biodiesel non public service obligation (PSO) tidak dibiayai dari BPDKS. Pasalnya program mandatori biosolar ditujukkan seperti transportasi publik. Sementara untuk pelanggan industri , pertambangan dan perkebun pun selayaknya menggunakan biosolar non PSO yang harganya sudah diatas Rp 12.000 per liter.

Tungkot menduga pemerintah belum akan menerapkan mandatori B40 dalam waktu dekat, sembari melihat perkembangan uji coba green disel. Dia memperkirakan serapan B40 baru akan direalisasikan kepada semester II tahun 2022 guna mempersiapkan kelengkapan administarasi dan aturan penunjang.kbc11

Bagikan artikel ini: