Masuk lewat e-commerce, produk kosmetik impor banjiri pasar lokal
JAKARTA, kabarbisnis.com: Pandemi Covid-19 dinilai menjadi momentum untuk melindungi pasar di dalam negeri dari maraknya produk impor .Pasalnya, banyak produk lokal yang terdampak akibat persaingan tidak sehat dengan produk impor. Salah satunya adalah produk kosmetik, di mana industri dalam negeri sebetulnya sudah mampu memproduksi kosmetik yang aman dan berkualitas.
Wakil Ketua Umum BPP Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) bidang Logistik dan Kepelabuhanan, Erwin Taufan mengatakan, saat ini adalah waktu yang tepat memperketat pengawasan masuknya produk kosmetik impor guna melindungi keberlangsungan industri kosmetik di dalam negeri dengan berbagai instrumen ataupun kebijakan persyaratan impor.
Menurutnya, instrumen yang dapat digunakan adalah kewajiban verifikasi produk kosmetik di negara muat sebelum importasi kosmetik dilakukan guna menghindari menjamurnya produk kosmetik aspal (asli tapi palsu) yang saat ini diduga banyak beredar di Tanah Air. Saat ini, kosmetik impor masuk ke Indonesia secara legal melalui distributor ataupun melalui perdagangan e-commerce.
"Marak juga kosmetik impor ilegal yang lebih membahayakan komsumen serta menciptakan persaingan pasar yang tidak sehat. Selain merugikan konsumen pengguna produk kosmetik karena membahayakan kesehatan, peredaran produk kosmetik aspal berpotensi menghancurkan industri produk kosmetik lokal," katanya seperti dikutip, Minggu (4/4/2021).
Menurut dia, pengetatan dan pengawasan importasi produk kosmetik untuk menjaga kearifan lokal produk kosmetik Indonesia yang selama ini diwarisi secara turun temurun. Pasalnya, kata dia, banyaknya produk kosmetik impor yang beredar di Indonesia saat ini membuat industri kosmetik dalam negeri sulit tumbuh. Pihaknya mengusulkan tiga instrumen larangan pembatasan (lartas) terhadap importasi produk kosmetik itu yakni melalui pertimbangan teknisnya, persetujuan impor (PI) serta keharusan adanya Laporan Surveyor (LS).
"Saat ini pengawasan terhadap kosmetik asal impor, hanya dilakukan oleh BPOM melalui penerapan kewajiban Surat Keterangan Impor (SKI) yang pengawasannya dilakukan setelah melalui kawasan pabean (pengawasan post border). Sehingga, potensi masuknya kosmetik yang tidak sesuai dengan ketentuan Pemerintah, menjadi lebih besar," kata dia.
Dia mengatakan, jika dipersyaratkan laporan surveyor atau pemeriksaan kesesuaian produk kosmetik dengan ketentuan Pemerintah di negara muat barang, tentu saja konsep pencegahan masuknya kosmetik ilegal maupun kosmetik yang tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan Pemerintah akan menjadi jauh lebih baik. Tidak hanya itu, juga akan membantu meringankan fungsi pengawasan terhadap kosmetik yang beredar di pasar domestik yang saat ini dilakukan oleh BPOM.
"Dengan tambahan instrumen lartas itu diharapkan industri kosmetik dalam negeri dapat tumbuh dan bisa bersaing dengan produk impor," imbuhnya.
Dia menjelaskan, pada tahun 2019, Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kementerian Perdagangan (Kemendag), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Ditjen Bea & Cukai, telah melakukan pembahasan untuk revisi Permendag Produk Tertentu, yang salah satu masukannya adalah mengatur kembali importasi kosmetik.
Bahkan, kata Taufan, pada Februari 2020 draft revisi Permendag tersebut telah disampaikan. Namun akibat terkendala persoalan Pandemi Covid-19, kelanjutan revisi beleid itu sempat tertunda. Kemudian pada Juli s/d Pertengahan Agutus 2020, kembali dilakukan pembahasan revisi Permendag Produk Tertentu sebagai salah satu tindak lanjut stimulus ekonomi non fiskal dibidang perdagangan melalui pengendalian impor produk jadi. Dan pada Agustus 2020, Kemenperin mengajukan pembatasan impor terhadap barang-barang tertentu kepada Kemendag, dalam rangka pemulihan ekonomi nasional.
"Salah satu yang diusulkan untuk dibatasi impornya adalah produk kosmetik. Tentunya dalam hal usulan ini, GINSI mendukung dan mengapresiasi, upaya pemerintah untuk membatasi importasi produk kosmetik," ujar Taufan.
Dia mengungkapkan, berdasarkan catatan GINSI bahwa adanya kebijakan pemberlakuan ketentuan impor kosmetik pada tahun 2013, telah efektif menekan laju impor produk tersebut. Namun, kata Taufan, dengan adanya deregulasi kebijakan impor pada tahun 2015 justru menyebabkan importasi produk kosmetik kembali meningkat yang mencapai puncaknya pada tahun 2018 dan 2019 hingga mencapai 28%. "Oleh karena itu GINSI memandang perlunya kebijakan pengendalian terhadap importasi produk kosmetik untuk melindungi industri kosmetik dalam negeri serta perlindungan konsumen," tuturnya.
Taufan mengatakan, nilai impor produk kosmetik pada tahun 2013 baru mencapai kisaran US$576 juta namun pada 2018 telah di kisaran US$741 juta dan pada tahun 2019 mencapai US$737 juta. Nilai impor kosmetik yang sangat besar tersebut, menunjukan permintaan pasar untuk produk kosmetik yang sangat besar. Hal ini tentu menjadi peluang investasi di Industri Kosmetik, yang dapat didorong oleh Pemerintah sebagai salah satu kebijakan substitusi impor. GINSI sebagai mitra strategis Pemerintah, juga memiliki tanggungjawab terhadap pertumbuhan industri di dalam negeri.
Oleh karena itu, GINSI sangat mendukung target substitusi impor yang dicanangkan oleh Kementerian Industri. Masih banyak produk asal impor yang dapat didorong menjadi target dalam substitusi impor, diantaranya ada produk plastik hilir (impor plastik berupa wadah, plastik lembaran, dan lain-lain), alat-alat kelistrikan serta peralatan kesehatan. "Program substitusi impor ini tentu saja dapat dimulai dengan kebijakan pengendalian terhadap produk-produk jadi asal impor," ujar Taufan. kbc10
Astra Financial Raup Transaksi Rp463,97 Miliar di GIIAS Surabaya 2023, Naik 46 Persen
ESDM Bakal Permudah Pengusaha SPKLU Peroleh Izin Lingkungan
Doodle Rayakan Ultah ke-27 Google Hari Ini
Raup Cuan dari Trading Online, Ketahui Perbedaan Metatrader 4 dan 5
Usai 2 Tahun Penerapan, Kemenkeu Klaim Efek Pajak Netflix Cs Baru Terasa