Stok beras nasional 2020 berpotensi menyusut 2 juta ton
JAKARTA, kabarbisnis.com: Stok beras nasional hingga akhir tahun 2020 berpotensi mengalami penurunan hingga 2 juta ton. Karena itu, dibutuhkan rumusan kebijakan perberasan yang didukung validitas data sehingga dapat segera diantisipasi segera mungkin apabila terjadi gejolak harga.
"Potensi penurunan (stok beras) ini disebabkan beberapa faktor yakni berkurangnya stok beras BULOG berjalan , kemudian cadangan beras pemerintah di awal tahun 2020 dan produksi beras petani. Saya analisa ketiga faktor ini akan mengalami penurunan dibandingkan tahun 2019," ujar Guru Besar IPB University Prof Dwi Andreas Santosa menjawab kabarbisnis.com usai webinar bertajuk
Resesi Ekonomi dan Pengaruhnya terhadap Ketahanan Pangan Indonesia yang digelar Pusat Kajian Pangan Pertanian dan Advokasi di Jakarta, Kamis (17/9/2020).
Dwi Andreas menguraikan stok beras BULOG saat ini sudah di posisi 1,4 juta ton. Padahal di tahun 2019 , stok beras BULOG di bulan Juni masih 2,2 juta ton.Artinya, stok beras BULOG sudah berkurang 800.000 ton
Total stok beras bulan Juni 2020,setelah dikurangi konsumsi hanya sebesar 6,77 juta ton dan lebih rendah 2,5 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya. "Dari data yang saya yang saya peroleh, cadangan beras pemerintah di awal tahun 2020 juga turun 300.000 ton dibandingkan tahun 2019 . Artinya itu semua stok beras sudah berkurang 1,1 juta ton beras," kata Dwi Andreas.
Adapun produksi beras petani sepanjang tahun 2020 ini, sebut Dwi Anderas juga berkurang 1 juta ton yang disebabkan terjadinya kemunduran musim tanam selama satu bulan. Akibatnya waktu panen pun mengalami keterlambatan yang mengakibatkan penurunan produksi beras petani.
"Otomatis, luas areal tanam dan luas panen juga berkurang. Karena secara riil, produksi beras selama Januari-Juni 2020 sudah turun 1,5 juta ton. Semester kedua , produksi beras akan mengalami sedikit lebih tinggi karena didukung iklim La Nina," terang Dwi Andreas seraya menambahkan produksi beras tahun 2019 sudah menurun sebesar 7,7% dibandingkan tahun 2018.
Mengutip data Badan Pusat Statistik dua tahun terakhir, trend produksi beras memang terus menurun. Pada tahun 2019, secara total produksi beras mencapai 31,31 juta ton. Angka itu pun turun di posisi dari posisi 2018 yang mencapai 33,94 juta ton beras.
Dwi Andreas mengakui kenaikan harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani sebesar Rp 4.200 per kilogram (kg) seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 24 tahun 2020 semestinya dapat membantu BULOG menyerap gabah petani jauh lebih besar. Selama lima tahun harga GKP sebesar Rp 3.700 per kg tidak mengalami kenaikan yang menyebabkan salah satu faktor BULOG kesulitan menyerap gabah.
"Ada kekhawatiran dari pemerintah kalau pembelian beras oleh BULOG massif akan mendorong angka inflasi. Padahal terbukti, anggapan penelitian tidak ada kaitannya sama sekali," terang Dwi Andreas.
Survei Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) di 46 kabupaten sentra produksi di 12 provinsi menyebutkan rerata harga GKP di 12 provinsi sebesar Rp 4.600 per kg di bulan Agustus 2020. Sementara di bulan April ketika di panen raya, harga GKP sebesar Rp 4.325 per kg, sudah diatas HPP pemerintah Rp 4.200 per kg.
Sementara harga beras di bulan Agustus sudah menyentuh Rp 9.071 per kg, lebih rendah dibandingkan bulan April 2020 sebesar Rp 9.364 per kg. Andreas menduga stabilitas harga beras masih terjaga diantaranya upaya perum BULOG menggelontorkan stok berasnya ke masyarakat dan program bansos sembako pemerintah terkait dampak penanggulangan Covid-19.
Namun, Dwi Andreas melihat potensi produksi beras petani di musim kemarau ini hanya sebesar 30% dibandingkan musim rendeng di triwulan pertama 2020. Karena itu dia mengingatkan dengan kondisi perberasan tahun yang tidak menggembirakan ini, menjadi evaluasi bagi pemerintah merumuskan kebijakan dengan didukung validitas data apabila terjadi potensi gejolak harga beras seperti di tahun 2017/2018.
Anggota Komisi IV DPR Mindo Sianipar mengatakan, berharap pemerintah melalui Perum BULOG segera melakukan pendekatan kerjasama bilateral luar negeri dengan sesama negara produsen beras. Pasalnya ketika terjadi resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19 , setiap negara berkepentingan menjaga kebutuhan pangan bagi negaranya sendiri.
"Akan sulit nantinya bagi kita menjaga stok pangan nasional. Jadi kita harus pikiran, bukan hanya ketahanan pangan,tapi kedaulatan pangan," terangnya.
Menurut Dwi Andreas, meyakini opsi penguatan stok beras melalui impor beras apabila di situasi pandemi saat ini tidak lagi menjadi polemik. Kuncinya, operatornya dikelola Badan Usaha Milik Negara seperti Perum BULOG. Karena dari proses pengadaan, pengapalan dan alokasi pendistribusiannya dapat diawasi publik.
"Menjadi masalah dan berpotensi merembes ke pasar kalau izin impor dilepas ke swasta. Akan sulit bagi pemerintah mengontrolnya.Kalau ada opsi impor beras, sebaiknya dapat diputuskan jauh hari. Kalau dulu diputuskan lintas kementerian di Menko Perekonomian di bulan September sehingga eksekusinya cepat , tidak menjadi berlarut larut dan menjadi masalah lagi bagi operator," terangnya.
Namun, dalam beberapa kesempatan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo optimistis produksi beras nasional hingga akhir tahun akan mengalami surplus hingga 6 juta ton.Hal itu didasari upaya percepatan musim tanam kedua seluas 5,6 juta ton yang sudah dimulai sejak Mei 2020 sehingga produksi beras hingga Desember mencapai 12,5 -15 juta ton. Namun, diperlukan upaya ekstra pemerintah pusa dan daerah untuk bisa mengamankan musim tanam pada semester kedua kali ini.kbc11
Hati-hati! Empat Kosmetik Ini Dilarang Beredar di RI
BI Siapkan Rp197,6 Triliun Uang Baru buat Lebaran, Begini Cara Penukarannya
Mampukah THR dan Gaji ke-13 bagi ASN Angkat Ekonomi RI Tumbuh 5,2%?
AstraPay Incar Transaksi Rp5 Triliun Selama Ramadan 2024
Mudik Pakai Mobil Listrik Tak Lagi Panik, Nih Deretan SPKLU di Ruas Tol Trans Jawa