Diversifikasi pangan, konsumsi beras ditekan hingga 1,78 juta ton

Rabu, 9 September 2020 | 19:31 WIB ET

JAKARTA, kabarbisnis.com: Kementerian Pertanian (Kementan) menetapkan strategi peningkatan ketersediaan pangan di era New Normal melalui pengembangan diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal yang berbasis satu komoditas utama per provinsi.

Hal itu sejalan dituangkan dalam peta jalan diversifikasi pangan lokal sumber karbohidrat pangganti beras 2020-2024. Sekretaris Badan Ketahanan Pangan (BKP) Riwantoro menuturkan upaya yang melibatkan multisektor dilakukan secara terintegrasi hulu ke hilir.

BKP menetapkan skenario penurunan konsumsi beras nasional di tahun 2024 menjadi 85,0 kilogram (kg)/kapita/tahun dari angka konsumsi beras di tahun 2020 ini yang ditargetkan menurun menjadi 92 kg/kapita/tahun. BKP mencatat konsumsi beras nasional hingga akhir tahun 2019 sebesar 97,1 kg/kapita per tahun.

Penurunan konsumsi beras ini setara 9,9 kg atau setara tujuh persen dalam lima tahun ke depan.Adapun jika dikonversikan konsumsi beras itu berkurang 1,78 juta ton senilai Rp 17,78 triliun. "Kita kuatkan sumber karbohidrat dari pangan lokal non beras," ujar Riwantoro dalam diskusi Forwatan di Jakarta, Rabu (9/9/2020).

Hadir pula dalam pembicara Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kuntoro Boga Andri, Kepala Departemen Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor University Sahara dan petani milenial Sandi Octa Susila. Riwantoro menegatakan skenario penurunan angka konsumsi beras ini dapat direalisasikan dengan catatan adanya intervensi dari pemerintah.

Riwantoro menambahkan, diversifikasi pangan lokal sumber karbohidrat non beras ini akan dilakukan di 34 provinsi. Untuk komoditas jagung , peningkatan produksi dan konsumsi ditargetkan naik 0,21 kg/kapita/ tahun akan dilakukan di tujuh provinsi, diantaranya di Jawa Timur, Gorontalo, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

"Kita targekan produktivitas jagung sebesar 10 ton/hekare dengan volume produksi diharapkan mencapai 10.624 ton," ujar Riwantoro.

Kemudian ubi kayu, ditargetkan kenaikan produksi sebesar 1,9 kg/kg kapita/tahun di 17 provinsi , pisang 0,46 kg/kapita/tahun (empat), sagu 0,4 kg/kapita/tahun (tujuh), pisang 0,46 kg/kapita tahun (empat). Untuk komoditas kentang 0,83 kg/kapita/tahun (empat) dan talas 0,62 kg/kapita/tahun (14).

"Kita terus berupaya menumbuhkan UMKM pangan olahan lokal.BKP juga melakukan edukasi, promosi dan kampanye seserta penyediaan outlet pangan lokal di Pasar Mitra Tani," kata dia.

Kuntoro Boga Andri menjelaskan terdapat perbedaan program diversifikasi pangan lokal pengganti non beras selama lima tahun ke depan. Sebelumnya, tupoksi hanya dilakukan BKP saja, sementara semua eselon I bersinergi terlibat dari perencenaan hinga mengeksekusi program.

Kuntoro menyebutkan untuk komoditas ubi kayu , jagung dan talas diserahkan kepada Ditjen Tanaman Pangan mulai penyediaan tambahan saprodi dan pendampingan untuk peningkatan produksi baik intensifikasi dan ekstensifikasi. Instansi teknis juga akan menyediakan alat paska panen dan penyimpanan tiga komoditas pangan tersebut.

Sementara Ditjen Perkebunan terkait peningkatan produksi sumber karbohidrat sagu .Untuk kentang menjadi kewenangan DitjenHortikulutra. Kemudian Ditjen PSP diamanatkan menyediakan alsintan, pupuk dan akses petani memperoleh KUR.

Adapun Balitbang bertanggungjawab melakukan riset enam komoditas pangan lokal pengganti beras juga diseminasi dan pendampingan penerapan teknologi. "BPPSDM melakukan pendampingan dan pelatihan budidaya paska panen dan pengolahan dan edukasi dan promosi," kata dia.

Namun Sahara memberikan catatan hilirisasi pengembangan pangan lokal menjadi tantangan yang harus pemerintah cari solusinya. Pola penanamannya yang masih tersebar dan belum massif menyebabkan harganya masih belum ekonomis.

Ketersediaan pasokannya pun belum sepenuhnya memadai seperti diinginkan industri.Pasalnya teknolgi pangan lokal masih terbilang terbatas.

"Misalnya harga ubi kayu Rp 4.000 per kg. Tapi setelah diolah menjadi tepung singkong sebesar Rp 14.000 per kg, masih lebih mahal dari tepung terigu yang hanya Rp 10.000 per kg," kata Sahara seraya menambahkan diversifikan pangan harus terintegasi melalui aspek permintaan dan pasokan.

Sandi Octa Susila menuturkan, petani milenial juga mendukung diversifikasi pangan lokal. Bahkan sudah melakukan ekspor mokaf atau tepung singkong dan sagu. Untuk itu, ia meminta potensi lahan harus dioptimalkan untuk budidaya. Selain itu, perlu juga membangun kerjasama dengan berbagai pihak untuk meningkatkan kemampuan pangan lokal.kbc11

Bagikan artikel ini: