Siapapun pemimpin DKI, harus business-friendly

Rabu, 19 April 2017 | 10:13 WIB ET

PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta putaran kedua yang berlangsung 19 April 2017 ini, menimbulkan harapan baru untuk para pengusaha.

Memang, KPUD DKI membutuhkan waktu sekitar dua pekan untuk menyelesaikan rekapitulasi suara. Menurut jadwal, keputusan resmi dari KPUD baru akan diumumkan pada 5-6 Mei untuk menentukan siapa pemenang yang berhasil merebut hati rakyat Jakarta.

Bagi pelaku usaha, banyak harapan disandarkan kepada pemimpin ibukota negara ini, siapapun nantinya yang terpilih.

Ketua Umum Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) Roy N. Mandey misalnya, berharap pilkada putaran kedua berjalan tertib dan kondusif. Karena, jika terjadi kerusuhan, peritel akan cukup terpukul. "Kita tahu, Jakarta memerlukan keamanan dan kelancaran saat Pilkada," jelas Roy.

Roy bilang, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemimpin baru Jakarta. Antara lain, banyaknya aturan yang masih menghambat aturan industri. Dia juga meminta pemimpin baru bisa melakukan keadilan keberpihakan terhadap rakyat kecil maupun pengusaha. "Kami berharap yang baru punya keberpihakan secara meyeluruh," ujar Roy.

Hal yang sama juga diungkapkan Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani. Dia mengatakan, pimpinan baru Jakarta harus bisa menjadikan ibu kota ini lebih baik. Salah satu indikatornya, bisa menekan rasio gini.

Rasio gini mengukur ketimpangan kesejahteraan atau pendapatan yang terjadi di suatu daerah. Skala 0 menunjukkan kawasan tersebut bisa melakukan pemerataan penuh, sedangkan rasio 1 terjadi ketimpangan penuh.

Rasio gini Jakarta dari 2013 sebesar 0,43 turun menjadi 0,41 pada tahun 2016. Meski turun, ketimpangan masih dinilai besar. "Kita lihat, gap kemiskinan masih cukup besar, sebagai kota urban kita masih lihat perbedaanya," kata Shinta.

Nah, untuk sektor bisnis, menurut dia, Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang baru, harus bisa membenahi regulasi bisnis di Jakarta. Tapi faktor keamanan dan fasilitas pendukung transportasi juga harus dibenahi agar iklim bisnis di Jakarta jadi lebih cerah.

"Yang utamanya, regulasi harus banyak yang dibenahi, jadi berbagai peraturan daerah di Jakarta harus dievaluasi kembali. Regulasi adalah faktor utama yang harus manjadi dibereskan," kata Shinta.

Sementara Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Haryadi B Sukamdani mengaku, siapa pun pasangannya dan berapa pun calon gubernur yang akan bertempur di pilkada, pihaknya tidak mempermasalahkan hal tersebut.

Hanya saja, sebagai pengusaha, Haryadi memberikan harapannya. Dia meminta kepada para Gubernur DKI Jakarta nantinya untuk lebih ramah terhadap para investor.

"Makanya ke depan siapa pun terpilih orientasi ekonomi harus clear. Kita tidak bisa senangkan kelompok masyarakat tertentu, tapi malah timbulkan beban ke pengusaha," kata Haryadi.

Dia merinci, beberapa pengusaha masih mengeluhkan investasi di sektor properti. Seperti tingginya pajak bumi dan bangunan (PBB) di DKI Jakarta. Selain itu, izin pendirian bangunan pengembangan properti dinilai juga masih sulit.

"Karena kelebihan daripada bangunan dikonversi ke bentuk fasilitas, ini susah. Kalau dulu kan jelas kompensasinya berapa, sekarang tidak kayak gitu. Secara umum oke, tapi dari sisi beban biaya yang terkait retribusi tinggi," kata dia.

Mengenai fasilitas infrastruktur, selama dipimpin Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, saat ini sudah cukup baik. Hanya saja satu hal yang menjadi sorotan dia dalam hal pengelolaan sampah.

"Saya tidak tahu sampai saat ini tidak beres-beres. Masak setiap hari kita masih buang sampah ke Bantargebang. Kalau perbaikan aliran sungai sudah oke, penataan kampung juga sudah baik," papar dia.

Harapan pelaku bisnis ini tentu juga merupakan representasi dari seluruh masyarakat khususnya warga DKI Jakarta. Siapa pun yang terpilih menjadi gubernur, ekonomi akan tetap berjalan seperti biasanya.

Pengaruh yang besar memang tidak ada. Namun, diharapkan agar isu yang dikembangkan di masyarakat lebih business-friendly. Seolah-olah yang besar selalu jahat. Padahal, dalam dunia usaha perlu keseimbangan aturan, tidak bisa on off.

Meski selama pergulatan kampanye Pilkada DKI banyak kita lihat beragam pertikaian, kompetisi tidak boleh mengganggu psikologi yang besar bagi pelaku usaha. Karena, siapa pun yang mau menanamkan uangnya, baik investor lokal maupun luar perlu ketenangan.

Yang dibutuhkan pebisnis, politik tidak terus-menerus mendominasi keseharian kita. Tujuannya, agar ekonomi tetap terus berjalan stabil. Ini ibarat pesaing kita yang sedang konsentrasi dengan pengembangan usaha terus-menerus tanpa gangguan politik. Kita pun juga tetap fokus ke tujuan sebuah perusahaan. (didik sutrisno)

Bagikan artikel ini: