Pemerintah bantah melunak, ini tiga poin yang wajib dipenuhi Freeport

Kamis, 6 April 2017 | 17:38 WIB ET

JAKARTA, kabarbisnis.com: Pemerintah meetapkan tiga poin yang tak bisa ditawar atau dinegosiasikan, terkait keberadaan dan keberlanjutan operasi PT Freeport Indonesia (PTFI) di lahan tambang emas dan tembaga Grasberg, Papua. Penegasan itu diungkapkan Staf Khusus Menteri ESDM Hadi M Djuraid, Kamis (6/4) merespons anggapan pemerintah tidak konsisten dan  melunak raksasa tambang Amerika Serikat itu.

Seperti diketahui, setelah terjadi sengketa tersengit antara pemerintah dan Freeport dalam beberapa bulan terakhir, beberapa hari lalu lalu pemerintah merilis izin ekspor bagi Freeport Indonesia untuk melakukan ekspor konsentrat tembaga untuk delapan bulan ke depan.

Menurut Djuraid, ketiga hal yang tidak ditawar dalam negosiasi ulang pemerintah dan PTFI adalah terkait peralihan Kontrak Karya (KK) ke Izin usaha Pertambangan Khusus (IUPK), pembangunan smelter, dan divestasi 51 $ saham Freeport Indonesia. Menurut Djuraid pemerintah tetap mengacu dan berpedoman pada UU No 4 tahun 2009 dan PP No 1 tahun 2017.

Atas dasar itu, posisi dan sikap pemerintah adalah menggunakan perundingan untuk memastikan Freeport mengubah KK menjadi IUPK Operasi Produksi, membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter), dan divestasi saham hingga 51%."Tiga poin tersebut tidak bisa ditawar dan dinegosiasi. Yang bisa dirundingkan adalah bagaimana implementasinya," tegas Djuraid.

Sebelumnya, dalam konferensi pers 10 Februari 2017, CEO Freeport McMoran Richard Adkerson tegas menolak perubahan KK menjadi IUPK, menolak membayar bea keluar ekspor konsentrat, dan menolak divestasi saham 51%. Ditambah penegasan akan membawa ke arbitrase internasional jika dalam 120 hari tidak tercapai kesepakatan dengan Pemerintah Indonesia.

Dengan demikian, ketika mengawali perundingan pada Februari 2017, standing position kedua belah pihak sangat jelas. Kedua belah pihak sepakat membagi perundingan dalam dua tahap, yaitu perundingan jangka pendek dan perundingan jangka panjang. Jangka waktu perundingan adalah enam bulan, terhitung sejak Februari 2017.

Fokus perundingan jangka pendek, menurut  Djuraid adalah perubahan KK menjadi IUPK. Perubahan KK menjadi IUPK menjadi prioritas karena akan menjadi dasar bagi perundingan tahap berikutnya. Di samping itu, IUPK memungkinkan operasi Freeport di Timika, Papua, kembali normal sehingga tidak timbul ekses ekonomi dan sosial berkepanjangan bagi masyarakat Timika khususnya dan Papua umumnya.

Setelah empat pekan berunding,kata Djuraid, PTFI sepakat menerima IUPK. Meski demikian PTFI meminta perpanjangan waktu perundingan dari enam bulan sejak Februari menjadi delapan bulan sejak Februari. Kementerian ESDM menyepakati permintaan tersebut, sehingga waktu tersisa terhitung sejak April ini adalah enam bulan.

Menurut Djuraid enam bulan adalah waktu tersisa untuk perundingan  jangka panjang, meliputi pokok bahasan stabilitas investasi yang dituntut Freeport sebagai syarat menerima IUPK, kelangsungan operasi Freeport, dan divestasi saham 51%. Sesuai PP 1/2017, pemegang IUPK dapat mengajukan rekomendasi ekspor konsentrat untuk enam bulan, dengan syarat menyampaikan komitmen pembangunan smelter dalam lima tahun, membayar bea keluar yang ditetapkan Menteri Keuangan, dan divestasi saham hingga 51%. Poin tentang divestasi akan masuk dalam pembahasan jangka panjang.

“Proses pembangunan smelter akan diverifikasi oleh verifikator independen setelah enam bulan. Jika hasil verifikasi menunjukkan progres pembangunan smelter tidak sesuai dengan rencana yang telah disetujui Kementerian ESDM, maka rekomendasi ekspor akan dicabut,” tandas Djuraid.

Ketentuan tersebut, kata Djuraid berlaku untuk semua pemegang IUPK, tanpa kecuali. Prosedur ini telah ditempuh pemegang KK lainnya yang telah beralih ke IUPK, yaitu PT Amman Mineral Nusa Tenggara (d/h Newmont).Dengan demikian jelas landasan operasi Freeport dalam enam bulan ke depan adalah IUPK.

Alhasil target perundingan jangka pendek telah tercapai, termasuk kembali normalnya operasi Freeport di Timika sehingga ekses sosial dan ekonomi yang terjadi sejak pelarangan ekspor Freeport pada 12 Januari 2017 tidak meluas dan berkepanjangan.Perundingan tahap kedua akan dimulai pekan kedua April, dengan landasan yang kokoh, yaitu IUPK. Perundingan melibatkan instansi/lembaga terkait, di antaranya Kemenkeu, BKPM, Kemendagri, Pemrov Papua -termasuk di dalamnya Pemkab Timika dan wakil masyarakat adat di Timika.

“Apabila setelah enam bulan ke depan tidak tercapai kesepakatan terkait poin-poin perundingan jangka panjang di atas, Freeport bisa kembali ke KK dengan konsekwensi tidak bisa melakukan ekspor konsentrat,” tegasnya.

Dengan demikian cukup jelas dan gamblang pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM konsisten pada komitmen mewujudkan hilirisasi mineral, serta memperkuat  kedaulatan nasional melalui kepemilikan 51% saham. kbc11

Bagikan artikel ini: