Dari bisnis nongula, PTPN X incar potensi pendapatan Rp 708 miliar per tahun

Jum'at, 5 Februari 2016 | 10:08 WIB ET
Pabrik bioetanol milik PTPN X
Pabrik bioetanol milik PTPN X

JAKARTA, kabarbisnis.com: PT Perkebunan Nusantara X (PTPN X) terus menggeber program diversifikasi produk dengan menggarap potensi bisnis nongula. Anggota holding BUMN perkebunan itu membidik potensi pendapatan Rp 708 miliar per tahun dari hilirisasi produk tebu non-gula, yaitu bisnis bioetanol dan turunannya yang diolah dari limbah cair (tetes tebu) dan pembangkit listrik berbasis ampas tebu. Pendapatan itu akan terealisasi setelah pembangunan pabrik bioetanol dan pengembangan listrik selesai dilakukan dalam dua atau tiga tahun ke depan, sehingga diharapkan perusahaan tidak hanya bergantung pada bisnis gula semata.

Direktur Produksi PTPN X T. Sutaryanto mengatakan, PTPN X akan membangun pabrik bioetanol baru di kompleks Pabrik Gula (PG) Ngadiredjo (Kediri). Perusahaan juga mengembangkan produk turunan bioetanol di pabrik bioetanol yang telah beroperasi di PG Gempolkrep (Mojokerto). Adapun pengembangan listrik berbasis ampas tebu dengan program cogeneration akan dibangun di PG Ngadiredjo, PG Tjoekir (Jombang), dan PG Gempolkrep (Mojokerto). Investasi untuk pengembangan hilirisisasi produk membutuhkan dana Rp1,469 triliun, di mana Rp 975 miliar-nya berasal dari dana penyertaan modal negara (PMN) yang diberikan pemerintah pusat ke PTPN X.

”Potensi pendapatan Rp 708 miliar setelah semua program tersebut selesai menunjukkan betapa besarnya potensi bisnis hilirisasi produk tebu nongula. Pabrik gula akan semakin kuat karena tak lagi mengandalkan pendapatan dari gula saja,” kata dia.

Sutaryanto merinci, potensi pendapatan Rp 708 miliar itu terdiri atas pendapatan dari bioetanol dan turunannya sebesar Rp 294 miliar dan pendapatan listrik Rp414 miliar. Pendapatan bioetanol diperoleh dari penjualan 30 juta liter bioetanol dengan harga Rp 9.200 per liternya dan turunan bioetanol berupa gas karbondioksida (CO2) sebanyak 12 juta liter dengan asumsi harga Rp 1.500 per liternya. Adapun dari listrik bisa dihasilkan 360 GWH dengan harga sesuai Peraturan Menteri ESDM sebesar Rp 1.150 per kwH, sehingga totalnya mencapai Rp 414 miliar.

Menurut dia, dengan pendapatan dari bisnis nongula, PTPN X akan bisa ikut mengatrol kesejahteraan petani. Selama ini, petani yang memasok tebu ke PTPN X memperoleh bagi hasil sekitar 66 persen. Jika semua program telah rampung dan berjalan, PTPN X siap meningkatkan bagi hasil ke petani tebu menjadi 70 persen. Peningkatan bagi hasil itu akan menambah pendapatan petani.

”Ini bakal menjadi tonggak industrialisasi produk turunan tebu non-gula. Apalagi, pemerintah sangat concern mendorong penggunaan energi baru terbarukan, yang antara lain bisa diandalkan dari tebu,” kata Sutaryanto.

Hilirisasi produk tersebut, kata dia, adalah keharusan jika industri gula di Indonesia masih ingin berkembang. Jika mengandalkan pendapatan dari gula tentu akan sangat terbatas, mengingat gula adalah komoditas yang pergerakan harganya selalu diintervensi pemerintah. Apalagi, biaya pokok produksi (BPP) gula petani semakin meningkat. Sejak 2008-2013, misalnya, peningkatan BPP petani mencapai 58 persen dari Rp 5.100 per kilogram menjadi Rp 8.070 per kilogram. Belum lagi persaingan gula impor yang harganya jauh lebih murah.

”Perlu ditekankan bahwa upaya diversifikasi produk ini tidak mengganggu peningkatan produksi gula untuk mengejar swasembada. Justru dengan diversifikasi atau hilirisasi produk, sistem kerja dan mesin kami dituntut lebih andal. Sehingga pararel dengan upaya peningkatan produksi gula,” jelas Sutaryanto.

Tren Dunia

Dia menyebut, tren hilirisasi produk telah lama dilakukan di negara produsen utama gula seperti Brasil, Thailand, dan India. Saat harga gula dunia rendah, industri gula di Brasil, Thailand, atau India bisa tetap stabil dan terus tumbuh karena mengandalkan pendapatan dari diversifikasi usaha nongula, mulai dari listrik (berbasis ampas tebu) sampai bioetanol (berbasis tetes tebu).

Di Brasil, pabrik gula (PG) yang ada bisa menghasilkan listrik lebih dari 3.000 MW. Sekitar 20 persen kebutuhan energi Brasil ditopang energi baru terbarukan berbasis tebu, terutama bioetanol. PG-PG India telah mampu memproduksi listrik 2.200 MW, dengan daya yang dikomersialkan 1.400 MW.

Indonesia harus segera bergegas mengejar ketertinggalan itu. Dia menghitung, dengan lahan tebu nasional sekitar 470.000 hektar dan 35 juta ton produksi tebu, potensi bisnis dari diversifikasi yang bisa diperoleh setidaknya adalah surplus power sebesar 3,5-3,9 juta MWh (3.900 GWh), bioetanol 460.000 KL, dan biokompos 1,5 juta ton. ”Kami di PTPN X telah memulainya dalam beberapa tahun terakhir dengan mendirikan pabrik bioetanol di Mojokerto. Ke depan dengan dukungan pemerintah kami akan terus mengembangkan strategi hilirisasi ini,” pungkas Sutaryanto. kbc8

Bagikan artikel ini: