Peneliti dorong penerapan produk bioteknologi di pertanian

Rabu, 27 Januari 2016 | 18:03 WIB ET
(KB/Purna Budi)
(KB/Purna Budi)

SURABAYA, kabarbisnis.com: Penggunaan produk rekayasa genetika (PRG) pada pertanian diharapkan bisa menjadi salah satu solusi memenuhi kebutuhan pangan di tengah terus menyempitnya lahan pertanian.

Peneliti dari Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetika Pertanian (BB Biogen), Prof Muhammad Herman, mengatakan dalam beberapa tahun kedepan dunia dihadapkan pada pertumbuhan jumlah penduduk yang meningkat tajam, sementara penyediaan pangan terhambat peningkatan produksi yang tidak signifikan.

"Produk-produk unggulan pertanian menjadi tumpuan dikala lahan pertanian terus menyempit. Saat ini yang berkembang di dunia adalah penggunaan produk bioteknologi di bidang pertanian," katanya di sela diskusi tentang sosialisasi produk bioteknologi di Hotel Crown Prince Surabaya, Rabu (27/1/2016).Ia menjelaskan, negara yang telah memanfaatkan produk rekayasa genetika atau bioteknologi untuk mendongkrak hasil pertanian terus bertumbuh. Ketika dikenalkan pada 1996, hanya ada 6 negara yang menanam produk bioteknologi. Total lahan yang ditanami pun hanya seluas total 1,7 hektar.

Pada akhir 2014, jumlahnya sudah berlipat, dari jumlah negara penanamnya yang bertambah menjadi 28 negara, luas lahannya pun menjadi 181,5 juta ha.

Pertumbuhan jumlah lahan tanam produk berbasis bioteknologi ini juga turut meningkatkan keuntungan ekonomis bagi petani baik di negara maju maupun negara berkembang. Tercatat selama periode 1996-2012 pendapatan petani di pertanian berbasis bioteknologi mencapai US$ 116,9 miliar. Pada  tahun 2012 saja, keuntungan untuk petani di negara berkembang mencapai US$ 8,6 miliar dan US$ 10,1 miliar untuk negara maju.

Di negara-negara berkembang, pemanfaatan produk berbasis bioteknologi juga memberikan keuntungan nyata kepada petani kecil. Di India misalnya, ada 7,3 juta petani yang menikmati peningkatan hasil produksi senilai US$14,6 miliar dari produk kapas bioteknologi. Petani jagunga biteknologi di Filipina juga mencatat kenaikan keuntungan sebesar US$ 378 juta sepanjang 2003–2012, dan US$ 92.6 juta di tahun 2012 saja.

“Ini membuktikan bahwa produk bioteknologi bisa memberikan keuntungan finansial bagi petani, selain meningkatkan produktifitas produk pertanian,” kata Herman.

Di Indonesia sendiri beberapa pihak sudah mulai mengembangkan produk berbasis bioteknologi, meski masih dalam tahap penelitian. Salah satunya adalah produsen gula PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI yang sudah beberapa tahun terakhir mengembangkan tanaman tebu tahan kekeringan berbasis bioteknologi.

Kepala Urusan Penelitian PTPN XI, Nurmalasari Darsono, mengatakan penggunaan bioteknologi dalam pengembangan produk tebu terbukti memberikan peningkatan hasil baik dari sisi produksi, maupun pendapatan petani.

“Dari hasil produksi benih produk rekayasa genetika kami, rata-rata hablur bisa meningkat sekitar 20%, dan pendapatan per hektar meningkat sekitar Rp 11,4 juta,” papar Nurmalasari.

PTPN XI sendiri melakukan penelitian dan pengembangan varietas tebu tahan kekeringan di lahan milik perseroan seluas 60 ha.

Selain tebu tahan kekeringan, PTPN XI sendiri kini juga terus mengembangkan varietas-varietas unggul lainnya seperti tebu dengan rendemen tinggi.

Peneliti dari Universitas Jember yang turut mengembangkan tebu tahan kekeringan, Prof Bambang Sugiharto menambahkan, kebutuhan produk bioteknologi memang akan terus berkembang seiring perubahan jaman.

“Jika sekarang kita masih fokus pada peningkatan produktifitas dan kualitas gula, maka nanti jika swasembada sudah terpenuhi maka kita akan mengalihkan fokus pada pengembangan tebu yang bisa memaksimalkan produk turunan tebu seperti bioetanol, kertas atau bahkan furnitur, dengan demikian kita akan membutuhkan tebu yang seratnya banyak dan baik utnuk memproduksi itu semua,” paparnya.

Saat ini, pengembangan produk bioteknologi di Indonesia masih terhambat dengan ijin dari kementerian terkait. Seperti yang terjadi pada tebu tahan kekeringan, tinggal menunggu ijin keamanan pakan dari Kementerian Pertanian.

“Sekarang kami sudah mengantongi sertifikat Keamanan Lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan sertifikat Keamanan Pangan dari BPOM. Kami tinggal menunggu sertifikat keamanan pakan agar bibt tebu ini bisa dirilis ke petani,” kata Bambang. kbc8

Bagikan artikel ini: